Langsung ke konten utama

Diskusi Interreligius 1: Islam dan Kristiani Berdampingan, Persamaan dan Perbedaan Narasi Teologi

Catatan moderator dari diskusi Kajian Interreligius seri 1
Narasumber DR Suhadi Cholil dan Pdt. Herlina Ratu Kenya
BOSA, 10 Februari 2017
Pra Diskusi
Acara dibuka oleh pak Sartana, menyampaikan ucapan terimakasih atas dukungan Kepala Sekolah, memperkenalkan para narasumber, memnyampaikan rangkaian acara dan mempin doa sesuai keyakinan masing-masing peserta. Selanjutnya sambutan Kepala Sekolah SMA BOPKRI 1 oleh Bapak Andar Lukito. Beliau menyampaikan dirinya siap menjadi bagian dari gerakan ini dan berharap PaPPIRus terus bergema, tidak hanya dalam kelompok-kelompok kecil dalam diskusi-diskusi, karena sudah saatnya orang-orang baik bersuaran dan tidak diam demi masa depan NKRI.
Sebelum diksusi dimulai, disampaikan pengenalan singkat tentang Paguyuban Pendidikan Interreligius (PaPPIRus) oleh Listia. Paguyuban Ini berawal dari perhatian pada pendidikan agama-agama di sekolah yang umumnya masih menggunakan ‘kaca mata kuda’ dalam melihat realitas yang majemuk, hanya bicara tentang dirinya sendiri dan sangat sedikit yang membicarakan adanya perbedaan dalam masyarakat. Melalui berbagai proses sejak 2004, ringkas cerita saat ini telah lahir satu model pendidikan yang  memberikan tawaran alternatif pendidikan agama di ruang publik sekolah, yaitu Pendidikan Interreligius. Pendidikan ini tidak untuk mengganti pendidikan agama yang ada yang menjadi tanggung jawab lembaga-lembaga agama, melainkan untuk menutup kekurangan yang ada. Dalam model pendidikan ini perbedaan bukan untuk dihindari tetapi untuk diterima, dan dengan mencermati perbedaan akan ditemukan titik-titik persamaan. Pada November 2016 lalu telah ada kesepakatan antrapegiatnya untuk membentuk kelompok penggerak sebagai sarana mensosialisasikan gagasan pendidikan ini melalui Paguyuban Penggerak Pendidikan Interreligius (PaPPIRus).
Tujuan Kajian Interreligius dalam bentuk diskusi dengan tema ini, adalah untuk berbagi penjelasan yang dapat membantu mencegah meluasnya kesalahpaham dan meningkatkan saling pengertian antarwarga masyarakat, sesuatu yang sangat penting bagi pendidik. Dengan membahas sisi-sisi persamaan dan perbedaan diharap dapat memperkuat kemampuan kita dalam mengelola perbedaan. Kajian seperti ini menjadi kebutuhan para pendidik. Untuk seri pertama diskusi kali ini tema yang diambil adalah, “Agama Islam dan Kristiani Berdampingan, Persamaan dan Perbedaan Narasi Teologi” dengan narasumber DR Suhadi Cholil dan Pdt. Herlina
Presentasi Narasumber
Narasumber Herlina
Herlina mengawali presentasinya dengan menyatakan bahwa dirinya tidak mewakili gereja manapun atau lembaga teologi manapun. Apa yang disajikan dalam kesempatan tersebut berdasarkan pengalaman dan pengetahuan pribadi, dengan mengambil pokok pembahasan “Firman dalam Perspektif Islam dan Kristiani”. Dasar mengambilan pokok bahasan ini adalah pertemuan di Pappirus (di SMA PIRI 1, bulan Desember 2017). Melalui pokok pembahasan tersebut Herlina bermaksud menjawab pertanyaan “Bagaimana kita bisa melihat sisi-sisi yang berbeda sebagai kekuatan untuk menjalani tugas-tugas dan panggilan kita dalam intereligius, 1) Agar mampu mencegah orang yang disekitar kita melakukan ujaran kebencian karena ketidak tahuan 2) Menolong untuk tidak setengah hati, meniti perjuangan intereligius. “Jika kita  tidak paham apa perbedaan dan persamaan yang ada pada kita, itu dapat menyebabkan kita melakukan pembelaan-pembelaan yang menyerang orang lain saat ada orang yang tidak paham. Itu akan melahirkan kebencian baru. Tapi kalau kita paham asal-usulnya seperti apa, kita tidak perlu melakukan pembelaan yang seolah menyerang. Itu yang menjadi tujuan saya”.
            Herlina mengutarakan kerangka pemikiran kritis tersebut, dengan memasukkan aspek genealogi konsep tentang firman, yang menggunakan pendekatan antropologis. Dengan meminjam pemikiran Andrew Lang (1898) dan Wilhelm Schmit, dia memulai pembahasan tentang apa itu firman, yang kemudian menjadi Kitab suci buat kita, entah itu Injil atau Alquran. Injil dimaknai sebagai kata sabda atau perintah Allah. Dari mana asalnya? Secara genealogi: Firman ada dalam diri manusia dan dunia yang dia hadapi. Ketika manusia berhadapan dengan dunia, maka muncul kesadaran bahwa ada kuasa yang jauh dari dirinya, ada hal-hal yang tidak dapat mereka taklukkan. Pengalaman ini memunculkan kesadaran bahwa ada kuasa yang lebih tinggi. Atau ketika manusia hidupnya berakhir, maka pertanyaan yang muncul kemudian menimbulkan kesadaran tentang Yang Kuasa ini”. Kesadaran manusia tentang kelemahannya di tengah kehidupan dan berbagai peristiwa alam ini, dirumuskan juga dalam berbagai kebudayaan dalam berbagai bentuk cerita rakyat maupun mitologi yang mengandung dongeng suci.
Dari genealogi ini, firman diartikan sebagai refleksi iman seseorang atas keterbatasan dirinya, pengakuan bahwa ada yang lebih tinggi darinya. Disini terlihat aspek subjektifitas asal-usul tentang apa yang dipahami sebagai firman, yaitu karena  berawal dari pengalaman individu seseorang. Aspek keyakinan memiliki peranan penting dalam hal ini. Contoh: Obama makan ayam, kemudian menuliskan pengalaman makan ayam itu dalam kalimat-kalimat. Saya bertanya apakah dalam rumusan kalimatnya, pengalaman Obama terwakili seutuhnya?. Betulkah rasa enak ayam bisa dirumuskan oleh rumusan sebuah kalimat? Bisakah pesan itu ditangkap oleh orang lain secara utuh?. Rumusan pengalaman subjektif pada masa lampau dalam sejarah, dalam lingkungan alam dll, kemudian dibakukan dalam kitab suci.
Dari pengalaman-pengalaman subyektif, yaitu refleksi atas penghayatan iman personal. Setelah firman menjadi objektif dalam kitab suci, proses selanjutnya kitab suci itu yang membentuk penghayatan iman umat beragama. Ketika ortodoksi terbentuk, di lingkungan Kristen ada LAI (Lembaga Al Kitab Indonesia). Selanjutnya dari Alkitab, lahirlah teologi, sebagaimana semua ajaran agama berpedoman pada kitab sucinya. Karena kitab suci lahir dari pengalaman subjektif, maka wajar saja jika ada orang lain berkata, mereka yang berbeda sebagai kafir, berhala dan lain-lain karena dianggap tidak bersesuaian dengan ortodoksi.
Menurut Herlina, firman diberikan pada manusia dengan beberapa tujuan:  1) Untuk kebaikan, dalam menghadapi kenyataan dan bersikap menghadapi suatu pengalaman hidup. 2) Untuk bertanggungjawab atas apa yang manusia miliki ketika sudah diberi nikmat dan hidup di dunia. 3) Pengajaran untuk menghargai entitas dan keberadaan makhuk-makhluk lain, tanpa ada batasan-batasan. 4) Sebagai jalan pembebasan dari kecenderungan kejahatan, karena itu manusia harus membatasi dirinya agar menghindari kecenderungan-kecenderungan kejahatan tersebut sehingga perjalanan hidup menjadi balance. 5) Agar manusia mendapatkan anugerah.
Menurut Herlina ada beberapa bentuk firman, yakni kata-kata yang punya kuasa,  bentuk mimpi, contohnya cerita Yusuf yang bermimpi bertemu dengan malaikat tentang kehamilan Maria yang bukan dari hubungan mereka berdua. Firman dalam bentuk wahyu  misalnya pengalaman nabi Muhammad ketika beliau dalam gua hira. Bentuk-bentuk ini adalah firman yang sama dalam agama Kristiani dan Islam. Perbedaannya adalah dalam agama Kristiani ada firman yang mempribadi dalam diri Yesus dan dalam Islam ada firman dalam bentuk kata-kata atau sabda.
Berkaitan dengan titik perbedaan dari agama Kristen terdapat penjelasan demikian; manusia memiliki kecenderungan pada kejahatan. Banyak nabi dan orang saleh diutus pada manusia, tetapi kejahatan ada di mana-mana. Bagaimana Yang Ilahi menolong manusia? Dalam Kekristenan, demi kecintaan Allah pada kebaikan, Yang Ilahi memilih untuk menjadi manusia, firman mempribadi. Ia mengambil bentuk manusia, yaitu manusia Yesus, supaya manusia dapat belajar pada seluruh perkataan dan perbuatanNya, supaya dia bisa menunjukkan mana jalan yang benar. Inilah kekhasan agama Kristiani yang berbeda dari ajaran agama Islam.
Aspek subyektif dari firman (yang kemudian diobyektitifikasi dalam kitab suci), membuat agama-agama membutuhkan tafsir atas kitab suci. Biasanya tafsir kitab suci memiliki dua arah; yang pertama tafsiran dengan meng-ilahi-kan teks, atau tafsiran dengan memandang teks melulu bersifat ilahi, sehingga teks harus dimengerti secara harafiah. Kedua tafsir yang senantiasa mempertimbangkan aspek subyektivitas firman, yang karena itu pembaca harus memasuki konteks dunia di mana teks itu ditulis. Arah pertama, adalah cara konvensional yang banyak dilakukan, yang umumnya menghasilkan cara pandang keagamaan yang tertutup, bahkan menjadi radikal atau intoleran dalam hubungan dengan yang lain yang berbeda. Sedangkan model tafsiran dengan arah yang kedua, dengan senantiasa mempertimbangkan konteks dari suatu teks, akan memnghasilkan pandangan keagamaan yang terbuka.
Islam hadir 6 abad setelah masa Yesus. Firman yang diterima nabi Muhammad datang dalam kontek masyarakat Arab yang cenderung pada kejahatan. Firman tersebut adalah koreksi terhadap cara hidup yang demikian. Firman Tuhan hadir kembali untuk menuntun manusia menuju pada kebaikan.  Pernyataan Islam sebagai ‘agama penyempurna’ dalam hal ini bukan berarti lebih unggul dari yang lain, tetapi sebagai koreksi atas cara hidup manusia saat itu. Jika mau berdampingan, maka harus paham asal-usul dan tujuan firman tanpa memperdebatkan atau cara Allah menyatakan firman seperti apa.
Narasumber Suhadi
            Mengawali presentasinya, Suhadi membuat penegasan bahwa Islam Kristen sesungguhnya sangat dekat. Tetapi konstruksi teologi membuatnya sangat jauh, sebagaimana jauh dengan Khonghucu, Budsha dll. Selain dimensi teologis, dalam kehidupan beragama ada juga dimensi sosiologis. Dalam berdampingan itu suhadi menganalogkan seperti bertetangga, sama-sama sebuah keluarga tetapi beda dalam ekonomi, kultur dan sebagainya. Dalam memposisikan secara berdampingan, tenyata juga ada sisi-sisi yang overlapping.
            Suhadi mengambil contoh beberapa teks yang menunjukkan sisi sisi persamaan. Misalnya tentang penciptaan, harinya pun sama; 6 hari. Tentang kisah nabi-nabi juga sama, beda sedikit tentang Luth tentang siapa yang mengukum. Salah satu diantaranya tentang Maryam atau Maria yang diceritakan sangat banyak di dalam al Quran, misalnya dalam surat Ali Imran. Suhadi menunjukkan bagaimana al Quran dengan cukup detil menjelaskan kekerabatan antara Zakaria, Yahya dan Imran hingga Maria. Demikian pula tentang  kehidupan Maria yang telah sampai pada derajat spiritual tertentu sehingga selalu tersedia makanan dari Tuhan di tempat Maria berdoa (Suhadi membacakan salah satu ayat dalam surat Ali Imran bahasa Arab). Maria dalam al Quran adalah perempuan yang berkesampatan berbicara dengan malaikat Jibril. Masa kecil Yesus juga dicertakan dalam al Quran. Hal yang justru tidak diceritakan dalam Kitab Suci Kristiani.
Bagi sebagian umat Kristen, Al Quran adalah bidaah, sebaliknya umat Islam banyak yang menanggap apa yang ada dalam Kitab Suci agama Kristiani sudah tidak asli lagi, sebagaimana yang diturunkan Tuhan.  Dalam sejarah Islam juga ada peristiwa tadwin, atau masa-masa kodifikasi al Quran yang melibatkan banyak dimensi kesejarahan.
            Bila diteliti dalam ayat-ayat yang ada di dalam dua kitab suci ini, di luar hal-hal-hal yang berbeda tersebut, sesungguhnya ada banyak hal memiliki muatan yang dapat disejajarkan.  Sisi persamaan misalnya: tentang penciptaan pun sama 6 hari. Tentang taman eden, sorga, dan kisah tentang Adam. Cerita nabi-nabi juga banyak yang sama, misalnya cerita tentang Nabi Nuh. Hanya ada perbedaan sedikit tentang Luth soal siapa yang menghukum dan lain sebagainya.
Ada banyak kisah tentang Maryam dalam al Quran. Jika dalam alkitab Zakaria diceritakan sebagai tukang kayu, diceritakan dalam Al-quran cukup detail. Zakaria beristri Elisabet ingin memiliki anak, mereka sangat saleh. Zakaria dan Imran dalam Islam adalah nabi. Zakaria terkejut doanya dikabulkan oleh Tuhan yaitu memiliki anak dalam usia yang cukup tua. Maka lahirlah Yahya/Yohanes. Keponakan Zakaria, Maryam ditinggalkan ayahnya, sehingga Maryam dititipkan ke Zakaria, Zakaria sangat senang. Maria dididik sangat istimewa oleh Zakaria. Maria memiliki akses ke Bait Allah/baitullah dan tumbuh menjadi sosok yang sangat religious. Maria mengasah spiritualitasnya sejak dini sehingga setiap hari ada makan didalam Bait Allah itu, entah siapa yang mengirimkan. Bagaimana secara filologi 2 bangsa yang jauh ini, bagaimana Muhammad mendapatkan cerita yang hampir sama dengan alkitab? Guru-guru agama semestinya bisa menjembatani hal ini, tetapi karena mungkin kesulitan dalam pendekatan sehingga hal itu lepas.
Sisi-sisi perbedaan dalam narasi teologi Islam-Kristiani antara lain muncul karena cara memahami dan pendekatannya memang beda. Pada sisi perbedaan ini Suhadi menyatakan ada kecaman sangat tajam terhadap konsep trinitas. Umumnya orang Islam berpendapat, dulu itu ada dalam pewahyuan injil, kemudian hilang dimusnahkan dan kemudian digantikan oleh Alquran. Di sisi lain, oleh orang Kristen, pasti Al-Quran dianggap bid’ah, hal baru yang tidak menyimpang dari ajaran Kristen.
Suhadi juga mengungkapkan ada hal yang menarik dalam surat Ali-imron 52, yaitu penyebutan kata kafir dipakai untuk menyebutkan Bani Israil yang mengingkari Jesus. Suhadi membacakan Al-quran dalam bahasan Arab yang isinya berarti kurang lebih,  Isa bertanya, “siapa yang akan menolong saya?”, para sahabatnya menjawab kamilah (12 rasul), kami yang akan menolong agama Allah. 12 orang itu disebut khawariyun, dan di dalam Al-quran menyebut diri mereka sebagai muslim.
            Ada banyak hal dalam al Quran dan Kitab Suci Kristiani yang dari sisi tema ajaran memiliki kesejajaran. Hal ini sesungguhnya dapat menjadi bahan kajian bersama antarguru agama, sebagaimana sudah dibukukan kajian tentang  Maria dari dua kitab Suci. Ayat-ayat yang isinya memiliki kesejajaran ini dapat menjadi sarana yang mendekatkan dua komunitas. Mengapa ada banyak sekali tema yang sama dalam dua kitab suci ini juga menarik untuk menjadi bahan perenungan bersama.
            Menurut Suhadi ada banyak muslim yang hanya membaca al Quran tanpa mencermati lebih dalam pesan-pesannya, tetapi ada kalangan yang memiliki perhatian yang sangat besar terhadap ayat-ayat yang memiliki muatan-muatan yang dapat menjadi sarana kepentingan politik tertentu (hingga hafal nomor ayatnya). Sambil bergurau Suhadi menyebut orang-orang NU tidak hafal ayat-ayat (nomor) berapa, karena yang penting baca, dengan bacaan yang baik dan  dapat barokah. Sementara banyak orang yang tidak baik bacaannya tetai sangat hafal dengan nomor ayat, karena suatu kepentingan tadi. Ini dimensi sosiologis dari kitab suci di kalangan umat Islam.
            Suhadi mengatakan tidak dapat berbicara kritis di semua lingkungan. Menurutnya ada wilayah religius yang ia hanya bisa menikmati suasananya sebagai ‘istirahat’, tapi ada wilayah akademis yang kadang membuatnya jadi sangat liberal. Tetapi, dengan mengutip Bordeau tentang field atau arena, Suhadi mengatakan ia tidak bisa mencampuradukkan arena-arena yang memiliki muatan yang masing-masing memiliki muatan yang berbeda.
Sesi Tanggapan Peserta ke-1
            Sartana menanyakan apakah ada tidak buku-buku yang memantik tentang hubungan Kristen-Islam? Jika ada mengapa itu tidak berpengaruh dalam kehidupan kita? Kemungkinan Pappirus akan membangun paradigma berbeda dalam persoalan ini, tentang agama-agama itu, agar hubungan antarumat ini tidak terlalu jauh bertentangan dan berbeda sekali.
Tanggapan Balik Narsum ke-1
Herlina mengambil contoh Injil Matius 28, yang berisi tentang perintah untuk membaptis bangsa-bangsa. Menurut Herlina, ajaran Trinitas, itu baru muncul pada tahun 324 M. Injil Matius ditulis 60 masehi, mengapa konsep Trinitas sudah ada di tahun 60 itu? Karena Injil Matius dirumuskan dalam subjektifitas penulisnya dan karena agama berkelindan dengan politik. Proses ini juga terjadi dalam penerjemahan alkitab. Dalam kajiannya Herlina menemukan beberapa hal: konsep Trinitarian ini dimasukkan dalam redaksi karena sejalan dengan ‘tujuan kolonialisme’, membaptis bangsa-bangsa. Dari Timur Tengah ke Romawi, aspek pengalaman dan bahasa sangat menentukan, ketika alkitab dirumuskan dalam bahasa Ibrani kemudian diterjemahkan dalam bahasa Latin, maka ada pergeseran-pergeseran dalam hal itu dan pergeseran itu secara tidak langsung masuk kepentingan itu.
Gereja konvensional, sangat tekstual, dalam memaknai Matius 28 ini.  Padahal, menurut Herlina, kata baptisan bukan perintah untuk mengobyekkan manusia, tetapi baptis sebagai perintah berpartisipasi dalam kehiduan sebagaimana yang diajarkan Allah. Murid-murid disuruh kembali menjadi garam, dengan mengikuti pola hidup berbeda-beda. Dengan pola mengikuti kehidupan Allah maka manusia dapat mengikuti pola hidup Yesus. Balam hal ini baptisan mestinya bukan dijadikan syarat menjadi orang Kristen, tetapi oleh gereja-gereja itu ditafsirkan dan dinarasikan sebagai alat keselamatan, sehingga menimbulkan masalah dalam hubungan Kristen-Islam.
Listia menanyakan pada narasumber Suhadi, tentang ada tidaknya kepentingan-kepentingan seperti itu dalam proses ortodoksi dalam Islam?
Suhadi berpendapat, Al-Quran menjadi seperti yang diakui hingga sekarang ini, melalui sejarah yang berdarah-darah juga. Tetapi dia tidak ingin membahasnya, arena menurutnya ada arena religious yang harus dibedakan. Itu moment religious yang perlu standarisasi (bukan sertifikasi karena banyak orang yang menjadi guru agama itu prosesnya ngawur, tiba-tiba saja muncul di TV dan forum-farum keagamaan). Suhadi mengusulkan agar cara baca terhadap Al-Quran seperti cara baca novel, tidak ada beban teologi.. Demikian pula terhadap wacana atheis, meskipun atheis tetapi itu ada nilai-nilainya juga. Ada arena religious yang bersifat pribadi dan hiburan. Bagi Suhadi, membaca kitab suci dengan santai atau sangat religious tergantung arenanya.
Herlina menambahkan,  pengalaman tentang Tuhan adalah pengalaman personal. Dia bergabung di Peruati (Perempuan Berpendidikan Teologi), yang saat ini menjadi kelompok yang memikirkan bagaimana agar gereja-gereja perlu membaca teks dengan mata baru. Kehidupan manusia adalah teks, sama dengan kitab suci sebenarnya. Dengan demikian firman Tuhan masih dapat kita rumusan sendiri. Rumusan berdasarkan pengalaman kita tidak bisa mengurangi atau menambah kemulyaan Tuhan. Allah bebas berfirman, tidak hanya untuk orang Israel, tetapi untuk kita juga.
Tanggapan ke-2 dari Peserta
Rustiadi berpendapat, persoalan hubungan antara Isam-Kristiani tidak di ruang diskusi ini. Pertanyaanya bagaimana ide keterbukaan ini bisa keluar dari ruangan ini. Guru-guru yang memiliki peran luar biasa untuk murid-murid. Persoalannya, pemahaman beberapa orang dari kalangan pendidikan atau pemuka agama belum seperti apa yang kita diskusikan. Apa yang dibahas di sini sangat fungsional. Bagaimana keluar dari zona aman beragama. Ini PR kita, bagaimana masyarakat di bawah dapat mengakses pemahaman seperti yang kita pikirkan disini? Bagaimana konsep keterbukaan ini bisa sampai di grass root dengan jalan yang smooth?
Syafi’ie sepakat bahwa beragama adalah pengalaman pribadi. Dengan beragama mestinya menemukan titik-titik kasih sayang, bukan menghancurkan atau memisahkan dari yang lain. Situasi sekarang sebaliknya, umat beragama semakin terpisah dan tercerai berai. Syafi’ie berasal dari Madura di mana sulit ada pengalaman bertemu dengan agama lain dan masing-masing terasa sangat jauh. Dalam konteks masyarakat Madura, mengapa semakin beragama seseorang seolah semakin berjarak dengan yang lain. Bagaimana cara menemukan persamaan prinsip-prinsip yang sama diantara agama, apalagi sesama agama samawi? Tantangan bersamanya adalah bagaimana menemukan jalan keluar dari konsep-konsep beragama yang menjadikan umat beragama semakin kerdil dan mengucilkan diri?.
Romo Joko berpendapat CRCS didirikan juga untuk membangun hal yang sama dengan apa yang dibahas dalam forum ini. Bagaimana agar konsep-konsep keterbukaan ini dapat menyebar? Ada orang sebagai sumber gelap, maka dia akan membuat umat gelap juga, pertanyaannya bagaimana menciptakan pribadi yang terang? Bagaimana setiap agama menjadi yang nomor 1 bagi para penganutnya, tetapi kebenarannya dapat menjadi milik semua? Menurut Romo Joko, radikalisme lahir ke orang-orang tidak melihat keindahan agama lain. Ini juga sebuah pertanyaan, bagaimana menumbuhkan kemampuan melihat ada yang indah pada yang lain? Ia menceritakan pengalaman saat pelatihan di Interfidei, ada sesi 30 menit melawan prasangka. Ternyata prasangka akan terpecahkan jika ada perjumpaan. Maka dengan perjumpaan ini dunia menjadi terang.
Tanggaan Narasumber
Suhadi berpendapat, asal orang-orang beragama itu berilmu tidak banyak masalah. Orang-orang yang beragama dengan keras itu biasanya tidak berilmu. Maka solusinya belajar ilmu agama sebaik mungkin maka tidakakan menjadi orang yang keras dalam beragama. Belajar agama erlu rileks. Adanya arena-arena yang beragam itu sunnatullah, seperti hukum Tuhan. Orang kadang tidak bisa membedakan arena. Bagaimana caranya dapat membedakan arena-arena ini. Di dalam sana ada proses dan perlu menghargai. Mengharapkan perubahan-perubahan secara cepat dan instan itu tidak mungkin, semua butuh proses. Dulu saat tahun 1949, NU memakai kata jihad, dan mereka berproses hingga sekarang kata jihad sudah tidak relevan lagi. Proses-roses ini perlu dihargai dengan cara membedakan arena-arena tersebut.
Suhadi tidak setuju dengan pendapat agar persamaan dikedepankan, karena tetap ada varian. Sama-sama berbicara humanisme, pada tingkat tertentu menurutnya perbedaan harus tetap dihargai. Tidak bisa dalam semua tingkat harus sama. Misalnya agama Katolik yang prolife dalam soal aborsi. Hal itu menunjukkan eksklusifitas, tetapi perbedaan ini perlu diterima, asal tahu arenanya, sama-sama demi kemanusiaan, tetapi kemanusiaan siapa? bayi atau ibu? Suhadi juga mengajak introspeksi, jangan-jangan seseorang menjadi misionaris baru, bila tidak tahu batasnya, berbicara sampai mana, karena memiliki dua dimensi yang saling berkelindan, dimensi pribadi dan sosial.
Menurut Herlina percakapannya bertolak dari niat, mengindari dari prasangka dan ujaran kebencian. Supaya tidak setengah hati dalam upaya ini, memahami asal usul sangat penting untuk menyikapi aspek-aspek yang berbeda pada agama lain. “Saya tahu asal-usul, maka saya tidak perlu menaggapi yang dia katakan dengan cara yang salah. Berpikir saja bahwa dia salah. Berilmu itu membuat kita tahu asal-usul dari apa yang ada dalam agama kita, kita pun terbebas dari prasangka-prasangka tentang orang lain. Agar gagasan seperti ini sampai pada guru-guru, kita butuh ilmu tafsir yang bisa membantu kita menerjemahkan teks yang subjektif itu”. Herlina menambahkan, tafsir yang dibutuhkan guru-guru adalah tafsir atas kitab suci dengan metode yang kontekstual, karena penafsiran seperti inilah yang membantu melahirkan keterbukaan. Peran ulama dan tokoh agama yang berilmu dan memahami konteks dari teks-teks kitab suci menjadi sangat penting.
Salah satu sisi konservatisme adalah eksklusivisme, yang disebabkan karena unsur keyakinan saja. Tentang adanya peristiwa yang sama yang diredaksikan oleh kitab lain, ini menandakan pentingya belajar sejarah, bukan untuk membabi buta karena dapat menimbulkan kejahatan beragama. Yang berbeda itu terletak pada keyakinan, jika berbicara tentang keyakinan maka akan masuk ranah subjektiif, karena agama lahir dan berasal dari ranah subjektif. Keterbukaan ini juga bersifat subjektif, karena keyakinan tidak boleh mengalahkan kebaikan. Kebaikan adalah hakekat yang tertinggi milik Allah, beragama pun harus menuju kepada kebaikan. Jika tidak ada kebaikan, maka surga sekalipun tidak ada, karena surga dirumuskan supaya manusia bertanggung jawab pada hidupnya. Surga bisa dinikmati di dunia jika relasi-relasi kita didunia berjalan baik.
Tanggapan ke-3 Peserta
Ridho menyampaikan, selama ini umumnya orang lebih senang membahas hal-hal yang sama, padahal yang sering menimbulkan masalah adalah ketika perbedaan yang gagal dikelola. Kalau persamaan saja yang dikaji untuk apa ada pendeta dan Kyai?  Ridho juga menyampaikan tidak mudahnya mengemukakan gagasan-gagasan kritis di tengah masyarakat umum di kalangan Islam. Di Kalangan guru-guru baru 2007, sekelompok guru agama Islam nyaman berbicara tentang agama lain.
Penutup
Diskusi ditutup oleh Listia dengan mengutip pernyataan Herina agar tidak setengah hati dalam upaya-upaya mendekatkan komunitas dua agama ini, Agar perjalanan menjadi sebuah tanggung jawab mewujudkan kebaikan di dunia. Perlu ada keterbukaan pada gagasan-gagasan bahwa Yang Ilahi tidak terbatasi, Yang Ilahi dekat dengan realitas hidup mansuia dan dengan demikian mendekatkan yang jauh.
*****
Beberapa pokok pikiran yang perlu ditindaklanjuti pada kajian berikut dengan berangkat dari Kajian Interreligius seri 1 ini adalah :
  1. Bagaimana menjelaskan dimensi mistik atau relasi mendalam manusia dengan Tuhan--yang dalam pembicaraan umum seringkali melibatkan penjelasan metafisik-- dalam hubungan antaragama?.
  2. Haruskah dalam pembicarakan perbedaan agama perlu batas-batas? Dasar pemikiran tentang ‘pembatasan’ ini bagaimana?
  3. Ketika paham keagamaan konvensional yang tertutup sudah menguasa dunia pendidikan, bagaimana secara teknis mendaratkan paham keagamaan yang terbuka di lingkungan pendidikan?  (Listia)

Komentar

  1. he he he bagus materinya, kok komen saya tadi hilang ya, belajar dengan materi yang seperti ini menjadikan saya belajar lgi dan banyak belajar unntuk ilmu bagi anak-anak saya, trimakasih pappirus indoneisa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komen tidak hilang, tetapi masuk dlm komentar terhadap naskah informasi ttg pappirus, hehehe

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tantangan Baru Pendidikan Toleransi di Indonesia

  Pandemi telah mengubah cara kerja masyarakat seluruh dunia. Semua pihak harus dapat beradaptasi dengan situasi penuh resiko ini agar tetap sehat dan semua aktivitas kehidupan dapat dilanjutkan. Demikian halnya dalam berbagai aktivitas pendidikan, selain harus mencari strategi yang aman dan efektif, juga harus tetap kreatif sehingga proses belajar mengajar berlangsung tanpa beban dan berdampak mencerdaskan.     Adaptasi Perkumpulan Pappirus terus mengupayakan pengembangan pendidikan keagamaan yang menumbuhkan kultur belajar yang memungkinkan tumbuhnya kesadaran menerima keragaman sebagai kodrat manusiawi dan mengajak para pendidik agar dapat membantu peserta didik mengembangkan sikap toleran serta mampu bekerjasama dengan orang yang berbeda latar belakang. Adaptasi dalam mengelola perkumpulan antara lain dengan migrasi kegiatan secara daring atau gabungan daring dan luring, sebagaimana dilakukan dalam Rapat Umum Anggota Perkumpulan ke-3, 25 April 2021 dan pertemuan Pengurus Periode ba

PENTINGNYA PERUBAHAN PARADIGMA UNTUK MERAWAT RUH PENDIDIKAN

    Catatan Moderator Seri 01 Program ‘NGOPII Yoo’ atau ‘Ngobrol Pendidikan Interreligius-Indoneisa dari Yogyakarta’, adalah perbincangan untuk masyarakat umum secara daring, yang diselenggarakan atas kerjasama Perkumpulan Pappirus, Rumah Kearifan, Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Sanggar Anak Alam, setiap hari Rabu malam. Seri pertama Ngopii yoo pada Rabu, 11 Agustus 2021 mengangkat tema ‘Pendidikan yang Memerdekakan’. Banyak pemikiran berharga dalam perbincangan ini. Untuk itu moderator akan menyarikan gagasan-gagasan menarik di dalamnya untuk diunggah di laman pappirusindonesia.org                    Kehidupan bermasyarakat mengalami perubahan sangat cepat, dampak dari perkembangan teknoliogi digital pada berbagai proses kehidupanbaik dalam pengorganisasian, komunikasi maupun proses produksi barang dan jasa. Bukan hanya pada level permukaan, perubahan juga terjadi dalam penghayatan nilai-nilai. Menyambut ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke 76, sebagai bentuk ra

Ziarah Peradaban Nusantara

                      Menurut sebagian orang ‘sejarah ditulis oleh para pemenang’, yaitu menggunakan cara pandang mereka yang secara politik dapat menuliskan ingatan tentang apa yang penting dan menanggalkan apa yang tidak penting menurut penulis. Namun sejarah tidak sekedar apa yang ditulis. Ada banyak situs, yaitu keberadaannya dalam ruang hidup manusia dari masa ke masa menyajikan keterhubungan banyak informasi yang seringkali luput dari apa yang telah ditulis. Situs-situs juga dapat menjadi pintu masuk mengantar pada imajinasi dan pemahaman cara hidup manusia dalam mengelola masyarakat kala itu. Situs menjadi sumber pengetahuan dan inspirasi.                           (Arca Garuda Wisnukencana di Musium Trowulan Mojokerto)             Minat pada sejarah di kalangan masyarakat Indonesia masih sangat rendah, dalam pengertian sejarah tidak dianggap sebagai sumber belajar, yang tidak sekedar menjadi memori yang menguatkan posisi para pelaku sejarah, melainkan sebagai inspirasi dalam