Catatan dari Kajian Interreligius seri 2: Islam dan Kristen Berdampingan, Persamaan dan Perbedaan Narasi Teologi
Islam dan Kristen Berdampingan,
Persamaan dan Perbedaan Narasi Teologi
Narasumber
Pro. DR. JB. Banawiratma dan Kyai Drs. Jadul Maula
Moderator
Linda Bustan, M.Div
17 Maret 2017
Prof. Bono membuka materinya dengan mengungkapkan perjumpaan agama
Kristiani dan Islam, paling kurang ada dua hal, yaitu pertama, tentang teologi pembebasan berupa pembelaan agama
Kristiani dan Islam pada kalangan yang tertindas. Kedua, dalam hal wacana teologi tentang Firman Allah dan Monoteisme
Trinitaris.
Dalam Islam kepedulian
pada kalangan tertindas termuat dalam banyak perintah dalam Al Quran untuk
membela kamum miskin dan telantar. Surat Al Maun yang isinya sangat tegas menyatakan
bahwa orang yang tidak memberi perhatian dan menolong kaum miskin dan anak
yatim adalah orang-orang yang dinilai mendustakan agama. Prof.Bono menceritakan
kisah Kyai Ahmad Dahlan yang setiap hari membaca surat ini. Ketika da seorang
muridnya bertanya mengapa setiap hari membacanya? Kyai Ahmad Dahlan balik bertanya,
“apakah kau sudah paham dengan surat ini?”. Si murid mengiyakan. Kyai Ahmad
Dahlan melanjutkan, “Bila kamu sudah paham, pasti kamu tidak di sini, melainkan
di sana, di rumah-rumah yang kumuh dan orang-orang terlantar”.
Konsisten dengan semangat membela kaum tertindas,
Farid Esack ( 1997: 82-113) memberikan kriteria tentang bagaimana tafsir al
Quran yang kons isten dengan pembelaan
kepada kalangan tertindas ini dalam
konteks politik apartheid di Afrika. Prof. Bono mencatatkan kunci-kunci
hermeneutik dalam memahami al Quran yang
dirumuskan Farid Esack sebagai berikut: (1). Taqwa; kesadaran akan kehadiran Allah yang terhubung dengan
interaksi sosial dan kepedulian terhadap yang lain. (2). Tawhid, satunya Allah yang menunjuk pada Allah yang tak terbagi
bagi kemanusiaan yang tak terbagi. (3). An
Naas, rakyat yang akan memerintah/ menetukan. (4) Al Mustadz’afiina fi al ardl, penduduk yang tak berdaya dan
termarginalisasikan adalah yang menentukan tindakan interpretatif atau
menggunakan perspektif korban. (5). Al
Adl bil qisth, keadilan yang berlandaskan pada tauhid. (6) Jihad, perjuangan dan gerakan (praksis)
yang bertujuan untuk mentransformasikan diri diri sendiri maupun masyarakat.
Pada sisi Kristiani, Prof Bono menampilakan hasil
penelitian lintas disiplin yang hasilnya ditulis oleh Hoorseley (2008: 227-228)
yang menggambarkan Yesus sebagai berikut : “ Yesus dan para pengikutnya
menanggapi kondisi kekaisaran Roma yang makin lama makin opresif, tidak dengan
cara lain kecuali menangkarkan pembaharuan masyarakat Israel dalam
komunitas-komunitas dusun. Gambaran standar tentang Yesus yang seringkali
didasarkan pada Injil Markus dan Injil-injil lain adalah Yesus sebagai guru
sendirian. Berbeda dengan itu, kami melihat gambar Yesus yang tertanam dalam
hubungan-hubungan sosial yang berakar dalam tradisi masyarakat Israel…”
Menurut Prof. Bono, sebagaimana nabi Musa dan
nabi Elia, Yesus muncul sebagai Nabi yang memimpin pembaharuan umat Israel yang
hidup dalam memori kolektif rakyat tertindas. Seperti para nabi, ia
berkonfrontasi dengan penguasa-penguasa yang opresif. Yesus memimpin para
pengikutnya ke Yerusalem, tepat pada pesta Paskah, perayaan pembebasan Israel
dari penguasa asing. Berbeda dengan kaum Zeloti, Yesus melawan kekerasan dengan
jalan tanpa kekerasan. Studi komparatif dengan gerakan-gerakan rakyat beserta
pemimpin-pemimpin mereka membuat kita mampu mengaskan dua hal, yakni: (1)
resistensi melalui tuturan lisan memori kolektif (“hidden transcrispt” via “public transcript”) yang terpelihara
secara internsif, dan (2) apa yang berkembang dari konteks ini yaitu
konfrontasi tegas Yesus berhadapan dengan terhadap penguasa-penguasa Yerusalem
dan penguasa Roma, yang mengakibatkan dia dibunuh sebagai pemimpin
pemberontakan”.
Perjumpaan
kedua agama Kristiani dan Islam adalah dalam pemikiran tentang adanya perantara
yang menghubungkan Allah yang absolut/mutlak dengan manusia yang nisbi. Mediasi
atau perantara Allah dan manusia ini disebut sebagai Firman Allah. Dalam
tradisi Kristen, Firman Allah ada dalam diri Yesus, sedang dalam Islam Firman
Allah berupa al Quran. Dalam tradisi Kristen, proses mediasi Allah-manusia mendapatkan wujud Ibu Maria
yang melahirkan Yesus. Dalam Islam proses mediasi ini bertujud Nabi Muhammad
mendengar dan kemudian mendiktekan
ayat-ayat al Quran.
Prof. Bono menegaskan bahwa “ Kitab Perjanjian baru tidak menggunakan kata
‘trinitas’. Yang terdapat dalam Kitab Perjanjian Baru setelah Para Murid
mengalami Yesus dibangkitkan oleh Allah dari kematian salib, mereka berbicara
mengenai: 1) Allah sebagai Abba (Bapa penuh keibuan. 2) Firman Allah (logos)
mengambil rupa daging dalam manusia Yesus, yang disebu ‘Anak Allah’. 3) Roh
Allah sebagai kehadiran kuat kuasa-kuasa Allah yang imanen. Berkaitan dengan
hal ini Prof. Bono menyarankan agar umat Kristiani kembali pada Al Kitab, yaitu
‘membaca Al Kitab tidak dengan kaca mata dogma’.
Dalam
mengkaji perjumpaan dengan Islam, Prof. Bono memaparkan dua fakta, pertama dari riset arkeologis dalam
dunia Arab pra Islam memperlihatkan bahwa orang-orang Kristiani Arab menyapa
Theos dengan kata Allah (The God). Pengertian mereka tentang Allah itu sering searti
dengan pengertian Semit Tradisional, ketimbang dengan pengajaran Kristiani.
Fakta kedua, dari Trimingham (dalam buku Christianity in Arab before the Time
of Muhammad), bicara tentang ‘Trinitas Tradisional Semitik’. Meski pun
suku-suku Arab yang berbeda menggunakan nama-nama yang berbeda, namun mereka
memiliki pola dasar sama sebagai berikut:
Mengutip Tom Michel, bahwa pada jaman Nabi
Muhammad, terdapat banyak orang Kristiani di daerah Arab –di padang gurun
Siria, Sinai, Arab Timur, Arab Selatan (Najran). Di wilayah Hijaz hanya
terdapat sedikit saja orang Kristiani. Pada waktu itu Mekah merupakan tempat
kudus bagi agama-agama pra Islam yang menahan berkembangnya gagasan-gagasan
Kristiani. Orang-orang Kristiani di Hijaz tampaknya tidak mengalami pendidikan
yang baik mengenai iman Kristiani. Di sana tidak ada institusi atau semacam
sekolah-sekolah untuk mempelajari iman Kristiani. Pada waktu itu al Kitab belum
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Oleh karena itu pemahaman umat Kristiani di
sana tentang agama Kristiani di sana saat itu sangat sederhana.
Dalam tradisi iman keturunan Abraham, Yahudi,
Kristiani dan Islam, Allah tidak beristri (Tom Michel). Perjumpaan Kristiani
dan Islam yang penting digaris bawahi untuk diperhatikan adalah; Sebagaimana dalam
Al Quran, iman Kristiani menolak trinitas yang dimengerti sebagai; Allah, Maria
dan Yesus. Ayat al Quran yang dimaksud adalah :1)Al Maidah ayat 115, “Wahai Isa
Putra Marya, Engkaukah yang mengatakan pada orang-orang, ‘jadikanlah aku dan
ibuku sebagai Tuhan selain Allah?’. Isa menjawab, “Maha Suci Engkau, tidak
patut bagiku menyatakan apa yang bukan hakku”.
2) Al Anam 101, “Dia pencipta langit dan bumi, bagaimana Dia mempunyai
anak padahal Dia tidak punya istri?”. Iman Kristiani menolak pengertian Yesus anak
Allah biologis sebagaimana ditolak oleh Al Quran. Iman Kristiani memahami Yesus
anak Allah secara simbolis, sebagai gelar, bukan dalam pengertian biologis.
Satu perbedaan antariman Kristiani terkait
keterangan al Quran adalah dalam surat Annisa 157-158 adalah tentang ‘jalan salib’.
Meski berbeda, Prof Bono menceritakan dialognya dengan Prof. Mahmud Ayub yang
menyatakan bahwa apa yang ada dalam surat An Nisa ayat 157-158 bukan sebuah
laporan sejarah, melainkan sebuah tanggapan terhadap ulama Yahudi yang sombong.
Karena bila melihat sejarah, sudah lazim kala itu seorang pemberontak yang
tertangkap penguasa akan dihukum dengan cara tersebut. Dapat dipahami bahwa apa
yang disampaikan dalam al Quran adalah pembelaan bagi kemuliaan nabi Isa.
Saai ini masyarakat menghadapi realitas yang kompleks
dalam persoalan sosial keagamaan. Umat beragama menghadapi persoalan terkait
hubungan lembaga-lembaga agama dan kapitalisme yang makin sering menggunakan
simbol simbol agama untuk memuluskan suatu kepentingan, yang sangat merugikan
bagi keberlangsungan misi agama-agama bagi perdamaian dunia. Mengutip Safaatun
el Mirzanah ( 2014, When Mecca Becomes like Las Vegas), “when religion become an empty shell, other substance will fill this
emptiness. The power capitalism will distorted religion, and then religion in
threatened of becoming meaningless body, without head and hart. Religious symbols are co-opted becoming a
guard of sinfull agents. The God of religion is threated as a partner of
business”.
Menutup presentasi pada kajian kali ini, Prof.
Bono mengingatkan pembaharuan pemaknaan misi dan dakwah. Hendaknya misi dan
dakwah sebagai gerakan komunal, --baik seiman maupun lintas iman, hendaknya
dilakukan sebesar-besar bagi kemaslahatan manusia dalam alam semesta, melalui
dialog apresiatif dan keterlibatan semua pihak sesuai dengan kharismanya. Misi
dan dakwah hendaknya dilakukan bukan dengan rivalitas, melainkan solidaritas
bersama.
Untuk itu Prof. Bono mengingatkan tentang makna dialog
antaragama, dengan mengingat mistikus muslim dan Kristen; Ibnu Arabi (
1165-1240) dan Meister Eckhart
(1260-1329), “Jika dialog dilakukan dengan otentik dan membawa transformasi
yang otentik, maka perjumpaan dengan umat beragama lain akan memberi dampak
pada pemahaman akan religiositas kita sendiri, dan termasuk dalam membaca
teks-teks (keagamaan) kita yang kita miliki.
*****
Narasumber kedua, Kyai Muhammad Jadul Maula membuka pembahasan
materi ini dengan bercerita kisah tentang para alim yang baik bermimpi melihat
Imam al Ghazali yang sudah meninggal dan di bawa surga. Dalam mimpi itu terdengar
suara bertanya pada Al Ghazali, “Hal apa yang membuatmu dapat bahagia saat ini di
surga? Al Ghazali menjawab, karena saya seorang sufi yang beribadah kepadamu”.
“Bukan”, kata suara itu. “Karena ilmu saya, fiqh, tasawuf dan lain-lain?”.
“Bukan juga,” kata suara itu lagi. Kemudian suara itu melanjutkan, “Tahukan
kamu, bahwa kamu dimasukkan dalam surga, karena suatu saat kamu sedang menulis,
lalu ada seekor lalat yang meminum setetes air pada penamu dan kamu biarkan
lalat itu meminum sampai puas, baru kamu lanjutkan menulismu. Jadi bukan karena
imanmu, ibadahmu, melainkan karena kasihmu pada sesama mahluk”. Ini adalah
ajaran hikmah dalam Islam, bahwa seseorang masuk surga adalah lebih karena
rahmat dari Allah.
Kasih lebih tinggi dari pada iman yang didasari
oleh doktrin. Takhallaqu biakhlaqillah:
berahlaklah sebagaimana ahlak Tuhan-- Yang Maha Pengasih. Dalam konteks ini
pula menurut Kyai Jadul, aspek ahlaklah yang memungkinkan seseorang memenuhi
kriteria insan kamil (manusia sempurna) dalam tugas hidup sebagai khalifah
Allah di muka bumi. Menurut Kyai Jadul Maula, tauhid trinitarian sebagaimana
dikemukakan Prof Bono, bahwa Tuhan telah berfirman dan terdapat daya-daya Allah
yang imanen, adalah sesuatu yang bersesuaian juga dengan keyakinan Islam. Istilah
Ruh Kudus dalam al Quran adalah malaikat dan malaikat itu ada banyak. Terdapat
cerita ketika kita berdoa hingga menangis itu karena malaikat ‘menyentuhnya’.
Pertanyaan terhadap keyakinan Kristiani hanya satu, dan mungkin ini sisi
perbedaan wacana teologi dalam Islam dan Kristen, mengapa yang disebut anak
Allah hanya Yesus. Dalam konteks insan kamil dalam Islam, semua manusia
memiliki kesempatan sampai pada derajat itu.
Dalam teologi Islam, yaitu pada Rukun Iman (atau syarat
minimal seseorang dianggap beriman), diantaranya harus mempercayai bahwa Allah
telah mengutus para nabi dan memberi kitab-kitab. Wali Sanga sebagai penyebar
agama Islam di tanah Jawa, telah merangkai iman dan kepercayaan pada para nabi dan kitab-kitab ini
dalam sastra gending, menggambarkan enam syariat yang ada yaitu, syariat nabi
Adam, nabi Nuh, nabi Ibrahim, nabi Musa, nabi Isa dan nabi Muhammad. Muhammad
mempunyai nama atau istilah lokal yaitu Cahyaningrat atau pembawa syariat yang
keenam. Islam yang berkembang di kerajaan Mataram, mewadahi syariat-syariat
sebelumnya, bukan menghilangkan, bahkan menyelenggarakan. Bagi orang awam ini
dianggap sinkretisme, tetapi sesungguhnya memiliki argumentasi atau
pertanggungjawaban, sebagaimana tergambar dalam surat al Maidah ayat 8.
Syariat nabi Adam adalah syariat dalam komunikasi
dengan alam. Nabi Adam awalnya mahluk ruhani yang tinggal di surga hanya
bertasbih. Ketika dia memakan buah khudi, maka ia menjadi berjasmani dan
tinggal di dunia. Praktek menyapa, tegur sapa dengan Tuhan melalui alam,
sebagaimana dilestarikan agama-agama lokal seperti Kharingan, juga dalam
masyarakat Jawa adalah membuat sesaji.
Syariat nabi Nuh dapat dipelajari dari kisah Nuh
mengumpulkan mahuk yang berpasang-pasangan ketika akan menghadapi banjir
bandang. Syariat Nuh terkait realitas kehidupan yang berpasang-pasangan,
yin-yang, syariat membangun keseimbangan ketika ada pertentangan pada diri
manusia. Syariat nabi Ibrahim adalah tentang kepasrahan total pada Tuhan atau
hanif. Syariat nabi Musa dalam 10 perintah Tuhan dan syariat nabi Isa, dalam
pemahaman ini karena beliau mahluk ruhani, sulit sekali diikuti oleh manusia
lain, misalnya shalat setiap saat, puasa ngebleng 40 hari.
Dalam menyebarkan ajaran cinta dalam kerangka
Islam, wali Songgo juga menggunakan sarana kisah-kisah yang ada dalam Mahabarata
dan Ramayana. Dalam Memberikan pengajaran, para Wali juga menggunakan penggambaran
pertentangan baik-buruk yang ada dalam diri manusia dengan simbol pertarungan
Kurawa dan Panadawa. Senjata yang menjadi andalan Pandawa sebagai simbol
kebaikan adalah jamus kalimasada yang dipegang oleh Yudhistira. Ajaran-ajaran hikmah
ada di mana-mana dan hikmah merupakan harta orang beriman.
Dalam berpakaian, Islam Jawa juga membangun
simbol simbol yang religius. Sorjan berasal dari kata sirojan, berarti pelita.
Kancing pada leher yang 6 butir melambangkan rukun iman, kancing pada bagian
tengah ada 5 menggambarkan rukun Islam, 3 yang kelihatan yaitu shalat, zakat
dan haji, namun dua kancing tidak terlihat menggambarkan sahadat dan puasa.
Kata sajen memiiki akar kata siji, nyawijiaken (satu,
menyatukan), artinya sebuah pernyataan simbolis dan estetis tentang pengakuan
kebersamaan serta kerjasama dengan alam dalam menjaga kehidupan. Tujuan
komunikasi dan menyelaraskan diri dengan alam adalah mencari ridho Tuhan. Pada
awalnya sajen dibuat dari apa yang ada di alam, diramu, dimasak bersama agar
semua dapat menyatu dan menyatukan yang hadir, baik yang tampak maupun yang
tidak tampak. Dalam kebersamaan pula terangkum harapan bahwa ketika berdoa
dilakukan dengan ihlas dan bersama-sama maka akan dikabulkan.
Dalam sajen di Jawa terdapat tumpeng, akronim
dari tumindak lempeng atau (perilaku
yang lurus), atau bisa juga akronim dari tumujuning
Pengeran, (menuju pada Tuhan). Pada sajian tumpeng ini memiliki alas daun
pisang ini juga merupakan simbol, dengan nama-nama pasaran, yaitu Pon (bagian
paling bawah berarti sepupon atau saudara dekat), bahwa semua yang hadir
dianggap sebagai sudara dekat. Wage (segawe: suatu kerja bersama, usaha bersama
dan berkat bersama) bahwa membangun kehidupan selalu membutuhkan kerjasama. Kliwon
(sepawon, satu dapaur bersama, satu rasa) kehadiran daam upacara menjadi tanda
solidaritas atau kesatuan dalam merasakan hidup satu sama lain. Legi (samargi,
satu jalan), Pahing (satu eling pada ujung tumpeng). Tumpeng menjadi simbol
yang estetis dan berdaulat.
Denys Lombard sejarawan Prancis menggambarkan
bangsa Jawa sudah memiliki peradaban tinggi. Ketika di Eropa masih sibuk mencari
cara penjelasan tentang bagaimana relasi dengan liyan, di Jawa dan nusantara
konsep ‘sesama manusia’ sudah berjalan dan menjadi nilai yang diagungkan.
*****
Moderator memberikan catatan tentang banyaknya
kearifan lokal yang sangat penting dan berguna untuk merawat kehidupan saat
ini. Namun kearifan daam berbagai ungkapan ini peru dikemas dengan bahasa yang
ebih populer.
Komentar pertama dari Pak Suwarto ingin mendapat
penegasan apakah Yesus adalah sosok yang sama dengan nabi Isa yang disebutkan dalam al Quran? Nurwahyu
menanyakan pendapat narasumber tentang pemikiran Zakir Naik yang selalu
menyalahkan agama lain dalam ceramah-ceramahnya. Bu Anis bertanya bagaimana
dampak dari pandangan teologis dalam menjalankan misi dan dakwah. Herlina bertanya
pada prof. Bono pandangan tentang
perunya rumusan-rumusan baru dalam berteologi untuk kehidupan saat ini
Tanggapan Narasumber :
Prof Bono menanggapi pertanyaanPak Suwarto dengan
memberikan penegasan bahwa Isa dan Yesus adalah sosok yang sama. Perbedaan
pandangan muncul dari perbedaan pemikiran tentang mediasi; bagaimana Allah yang
mutlak menyapa manusia. Dalam agama Kristiani mediasi itu ada dalam diri Yesus.
Yesus adalah firman Allah. Sementara dalam agama Islam, mediasi itu dalam Al
Quran. Jadi dalam agama Kristiani Yesus tidak hanya seorang nabi, melainkan dihayati
sebagai Firman Tuhan. Sementara dalam agama Islam Firman Tuhan ada dalam al
Quran, dan nabi Isa adalah seorang nabi.
Hal yang mempertemukan dari kedua padangan
tentang bentuk mediasi yang berbeda adalah tentang ruh Allah (dalam agama
Kristiani disebut Ruh Kudus) atau daya-daya kekuatan Allah yang diberikan
kepada manusia yang menyebabkan mereka dapat mengikuti Firman Allah. Dalam
Islam misalnya, surat al fatihah itu kalam Allah. Bagaiamana seorang muslim
bisa mengikuti Kalam yang bukan darimanusia kalau bukandari daya-daya Tuhan
ini? . Tanggapan Prof.Bono untuk Bu Anis: untuk mengatasi klaim-klaim
kebenaran, yang perlu dilakukan adalah dengan membaca kitab suci secara
sungguh-sungguh, jangan membaca kitab suci dengan kacamata dogma.
Untuk pertanyaan Nur Wahyu, Prof. Bono menyatakan,
mestinya sebuah lembaga pendidikan
tinggi tidak mengundang orang yang dalam membangun relasi dengan agama lain
dengan pemikiran apologetik, ini bukan jamannya lagi. Mestinya yang dibangun
adalah dialog. Mungkin kita perlu mengumpulkan teks-teks yang saling
menegasikan untuk dibaca dengan cara yang benar, bukan dengan kacamata dogma.
Kyai Jadul berpendapat dalam Islam ada pandangan bahwa
Isa AS adalah mahluk ruhani. Karena mahluk ruhani maka selalu beribadah,
shalatnya 50 kali sehari. Umat Islam tidak mampu mengikuti, maka dalam kisah
isra mi’raj, nabi Muhammad menawar kepada Allah sampai tinggal 5 kali sehari. Ada sisi-sisi yang sama , tetapi sisi-sisi
perbedaan dalam narasi ini juga tetap kuat, karena demikian keunikan
masing-masing agama (Lt).
Komentar
Posting Komentar