Saling Sapa antarsaudara
Peneguhan persaudaraan muslim,
persaudaraan keindonesiaan dan kemanusiaan
akhir-akhir ini makin menghadapi banyak
tantangan, terutama terkait persaingan politik kekuasaan di Indonesia
maupun dampak globalisasi, kesenjangan sosial dan ketidaksiapan dalam
menghadapi perubahan sosial yang sangat cepat. Tantangan ini mestinya
menuntun semua pihak untuk memandang ke dalam, untuk menghidupkan
kembali ruh persaudaraan sebagai modal menghadapi berbgai
tantangan persoalan bersama. Adanya
pengabaian terhadap praktek-praktek diskriminasi pada
kelompok minoritas dan berkembangnya paham
kebencian terhadap liyan menjadi potret kelam ketidakmampuan
banyak muslim meneladani contoh Nabi dalam
mengedepankan persaudaraan, saling menghargai perbedaan paham
dan dalam mengutamakan kepentingan bersama. Nabi Muhammad
telah memberi contoh nyata bagi umat Islam dalam membangun hidup
damai bersama, termasuk dengan kelompok yang berbeda kitab
suci dan dengan mereka yang bukan ahlul kitab.
Dialog pada 16 Mei 2017 ini diselenggarakan dengan
tujuan untuk mengingatkan dan mematik kembali semangat persaudaraan
muslim yang ramah dan toleran, yang bersama saudara-saudara kaum
beriman agama lain pada masa lalu telah mampu membangkitkan
nasionalisme Indonesia sebagai sarana pengembangan perdamaian dan
pertumbuhan martabat kemanusiaan di bumi nusantara.
Narasumber kegiatan ini adalah Prof. DR. KH. Muhammad
Machasin, (Mustasyar PBNU), DR. H. Abdul Mu’ti, M.Ed (Sekretaris
Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah), DR Jalaluddin Rakhmat, M.Sc (Ketua
dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlul Bayt Indonesia) dan Amir Nasional
Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Maulana Abdul Basit, Shd. Peserta dialog
terdiri utusan dari ormas-ormas keagamaan NU, Muhammadiyah, Jemaat
Ahmadiyah Indonesia, Gerakan Ahmadiyah Indonesia, Ikatan Jamaah Ahlul
Bayt Indonesia (IJABI), para Pendidik anggota PaPPIRus dan peninjau
mahasiswa Paska Sarjana Fakultas Teologi UKDW dan beberapa Pendeta
dari Gereja Kristen Jawa dan Gereja Kristen Indonesia.
Dalam sambutan selaku tuan rumah, rektor Universitas
Kristen Duta Wacana Ir. Henry Feriadi, Ph.D menyampaikan,
sesungguhnya dia belum memahami mengapa Duta Wacana dipilih sebagai
tempat penyeenggaraan acara. Tetapi beliau memahami dari dari
pembacaan artikel yang ditulis oleh Shalahuddin Wahid tentang Islam
dan Indonesia, bahwa dialog kali ini terkait langsung dengan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan semangat persaudaraan pula,
UKDW berbahagia dapat berpartisipasi dalam dalam kegiatan dengan
menyediakan ruangan. Subkhi Ridho menimpali dalam sambutan mewakili
panitia penyelenggara, bahwa pemilihan tempat di UKDW sekaligus untuk
menghilangkan rasa sungkan yang biasanya muncul dikalangan muslim
ketika harus berhubungan dengan saudara-saudara Kristen. Sehingga
partisipasti UKDW menjadi sesuatu yang sangat berharga dalam dialog
ini.
Nilai-nilai Universal dalam Islam
Para narasumber menguraikan pemikirannya dengan dipandu
pertanyaan-pertanyaan dari Listia sebagai moderator, sehingga
terbangun suasana rileks dan komunikatif. Banyak gurauan yang
dilontarkan antarnarasumber, forum pun ger geran menumpahkan
suasana kekeluargaan, meski sesunguhnya yang dibahas adalah hal-hal
yang sangat serius dan bagi masyarakat di luar mungkin menjadi
sesuatu yang sensitif untuk dibicarakan.
Pada sesi pertama pertama, para narasumber memahas
nilai-nilai universal dalam Islam dalam pengalaman Muhammadiyah,
Ahmadiyah, Syiah dan NU yang dihidupi dalam ajaran maupun program,
tantangan-tantangan yang dihadapi atau kesulitan dalam mendaratkan
ajaran yang memiliki keluwesan, keluasan, ramah serta mengutamakan
ahlak karimah dan dampak proses membumikan nilai-nilai universal
dalam Islam bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mengawali perbincangan, DR. Abdul Mu’ti menyampaikan
keprihatinan, bahwa di usia yang memasuki 70 tahun sebagai negara
merdeka, dalam kehidupan berangsa dan bernegara, Indonesia masih
menghadapi pertanyaan tentang bagaimana menjadi Indonesia. Secara
konseptual para pendiri bangsa sudah meletakkan pijakan yang sangat
kokoh bahwa Indonesia terbentuk dari beragam suku dan agama. Namun
sekarang, persoalan keagamaan masih menjadi bagian dari persoalan
keindonesiaan. Persoalan keagamaan ini menurut DR. Adul Mu’ti tidak
hanya terkait dengan tafsir atas teks keagamaan, juga faktor
globalisasi yang membuat orang sangat terbuka dengan hal-hal baru,
atau sebaliknya sangat defensif dengan identitasnya sendiri.
Masyarakat Indonesia, dengan kekutan budaya lokal mereka sesungguhnya
memiliki karakter yang terbuka dan toleran namun ketika politik
mendominasi kehidupan, karakter ini makin tergerus.
DR Abdul Mu’ti menggambarkan bahwa masyarakat dan para
pimpinan Muhammadiyah tidaklah homogen dalam meninggikan nilai-nilai
universal dalam Islam, dengan mengangkat gambaran heterogenitas
berdasarkan penelitian DR.Munir Mulkhan dengan penuh canda. Demikian
halnya di kalangan NU sebagai organisasi keagamaan yang dikenal
sebagai pengawal Pancasila dan NKRI, diantar pengurusnya juga
memiliki padangan sikap yang beragam, sebagaimana diakui Prof.DR
Machasin. Para pengurus wilayah NU maupun Muhammadiyah di berapa
daerah ada yang justru menjadi pendukung intoleransi. Heterogenitas
pandangan dan sikap warga dan pemimpin Muhammadiyah maupun NU ini
menjadi tantangan tersendiri, sehingga saat ini sangat dibutuhkan
pemimpin-pemimpin agama yang mampu memegang prinsip ajaran universal
dalam Islam, termasuk di dalam ajaran tentang bertoleransi. Saat ini
untuk memilihan memegang prinsip nilai-nilai universal dalam Islam,
khusunya dalam menghadapi kebhinnekaan, membawa resiko mendapat
penolakan dari kalangan sendiri. Tetapi seorang pemimpin harus hidup
dengan prinsip-prinsip.
Dalam mengembangkasi sikap toleransi, menurut DR. Abdul
Mu’ti, pemahaman kognitif tentang agama orang lain itu penting,
tetapi tidak menjamin melahirkan sikap toleran, tergantung ketulusan
dalam mempelajari perbedaan ajaran. Hal yang lebih dibutuhkan adalah
aksi-aksi yang dapat mendorong inkluasi sosial secara alamiah.
Dialog-dialog yang dilakukan secara resmi seringkali elitis dan tidak
mendarat di akar rumput, maka dibutuhkan dialog berupa kegitan
bersama dalam menanggapai persoalan kemanusiaan bersama, seperti saat
menghadapi bencana, pada layanan kesehatan atau pendidikan. Dari
kegiatan kegiatan bersama ini akan dirasakan bagaimana ayat-ayat
kitab suci yang berbeda ternyata menyeru dan mendorong pada berbuatan
baik untuk kepentingan bersama.
Maulana Abdul Basit Shd menekankan bahwa nilai-nilai
universal dalam Islam mengejawantah dalam ahlak karimah, maka hal ini
yang perlu dikedepankan adalah berbuat baik dengan tulus. Kepedulian
sosial dilakukan dengan tulus tentu tidak akan mengundang perlawanan
warga, sebagaimana misalnya dilakukan oleh JAI di daerah Ngloro
kabupaten Gunung Kidul DIY dengan mendirikan Klinik Kesehatan ASIH
SASAMA (sebagai terjemahan dari semboyan ‘love for all, hatred for
none’). Dalam dua tahun terakhir ini masyarakat yang berobat di
sana hingga dua ribuan. Demikian pula dengan berbagai aktifitas JAI
dalam program ‘Humanity First’, menujukkan nilai-nilai universal
dalam Islam yang terwadahi dalam ahlak karimah pada sesama. Amir
Nasional JAI menegaskan, masa kejayan Islam tidak terjadi pada masa
perang, melainkan ketika keunggulan ahlak umat Islam dirasakan oleh
berbagai bangsa. Ketika keimanan pada Allah tercermin dalam perbuatan
pada sesama manusia.
Beberapa Tantangan
Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Alul Bayt Indonesia
membuka kisah keakraban antara dirinya dengan tokoh-tokoh
Muhammadiyah, organisasi tempat berkiprah sebelum masuk dalam
keluarga Syiah. Keakraban ini sesuatu yang di kalangan bawah tidak
mudah di temukan, terutama karena akhir-akhir ini berkembang paham
keagamaan yang mengkafir-kafirkan kelompok yang berbeda. Menanggapi
situasi yang berkemambang saat ini DR. Jalaluddin Rakhmat bertekad
menyuarakan pentingnya memperikan pengertianpada umat untuk
membedakan antar makna kata Islam dan Islamisme. Islam adalah ajaran
yang diturunkan pada nabi Muhammad SAW agar menjadi rahmat bagi
kehidupan, sedangkan islamisme dengan menyinggung Bassam Tibi, adalah
suatu bentuk politisasi agama atau tasiran tunggal tentang suatu
ajaran Islam yang dipolitisasi demi suatu kepentingan. Maka Islamisme
adalah suatu gerakan politik. Perjuangan kaum islamis bukan untuk
memperbaiki ahlak, melainkan untuk merebut kekuasaan. Islamisme tidak
mengenal toleransi karena segala sesuatu harus mendukung cita-cita
berdirinya negara Islam. Padahal banyak hadist menunjukkan nabi
diutus bukan untuk menjadi penguasa, nabi sendiri yang memilih untuk
menjadi hamba dan seorang nabi, saat ditawari kekuasaan oleh malaikat
Jibril.
Menurut perspektif Syiah, sebagaimana disampaikan oleh
DR. Jalaluddin Rakhmat, ada contoh dari sahabat Ali RA, yang sempat
diangkat tangannya oleh Nabi sambil mengatakan, ‘barang siapa yang
menjadikan aku sebagai panutan, ikutilah Ali’. Tapi ketika umat
Islam di masa awal memilih Abu Bakar RA untuk menjadi penerus nabi,
Ali RA menyatakan, ‘Aku akan menjadi warga biasa yang taat dan
mendengarkan’. Ali mencontohkan menyerahkan kekuasaan demi
kerukunan umat. Artinya kekuasaan dalam Islam bukan menjadi tujuan.
Dalam mewujudkan toleransi dan penerimaan perbedaan
yang ada dalam masyarakat, Prof. DR. Machasin mensinyalir adanya
tantangan potensial sejak awal, bahwa agama-agama import, yaitu
agama-agama yang datang dari luar yang masuk ke nusantara telah
membawa perpecahan dari asalnya. Maka bisa di pahami bila paham yang
berkembang di Indonesai kemudian pun menjadi sangat beragam. Namun
menurut Prof. Machasin, ada faktor lain yang ada di dalam negeri
maupun di luar. Dengan menyingung karya Ibnu Thufail tentang tokoh
Salaman tokoh yang digambarkan senang dengan sengaja mengutak-atik
kesakralan agama untuk suatu kepentingan politik kekuasaan yang
mereka kejar. Prof. Machasin melihat, ada agen ‘salaman’ dalam
berbagai gejolak akhir–akhir ini. Agen yang mengutak-atik
sakralitas agama untuk suatu kepentingan tertentu ada di dalam maupun
di luar negeri.
Penanaman Toleransi
Beberapa pertanyaan lebih menyoroti tanggapan yang
muncul pada sesi ini antara lain mengapa masih ada pimpinan wilayah
Muhammadiyah yang mendukung intoleransi atau melukai perasaan
kelompok-kelompok muslim yang berbeda atau non muslim, mengapa
pandangan dan sikap pimpinan elit organisasi yang terbuka dan toleran
tidak diikuti oleh para pengurus organisasi di bawah, sehingga
berdampak memunculkan sikap intoleransi dalam masyarakat bawah?
Menanggapi komentar ini DR. Abdul Mu’ti mengatakan di
organisasi-organisasi besar kadang kekurangan aktor-aktor menengah
yang dapat menterjemahkan gagasan-gagasan toleran dan Islam yang
luwes ke bawah. Kelangkaan aktor yang dapat menjalankan fungsi ini
menjadi persoalan nyata. Selain itu tidak semua orang berani
mengambil resiko ketika menegakkan sebuah prinsip. Masih dibutuhkan
banyak dialog seperti ini dan upaya-upaya mengajak umat untuk terbuka
dan saling mengenal liyan. Melalui dialog-daiaog ini diharapkan bisa
menjawab tatnagn masa depan Islam yang luwes?
Prof Machasin menambahkan, adakalanya tindakan
intoleran masyarakat terjadi bukan murni faktor agama. Sebagaimana
keributan warga NU dan Syiah di Sampang Madura, atau di Sulawesi
Tenggara, ada tokoh-tokoh NU yang terlibat dalam tindakan
intoleransi, tetapi orang-orang yang mendukung dan berupaya
melindungi kelompok minorotas juga orang-orang muda NU. Bila
dicermati ada banyak masalah yang bukan terkait agama, madzhab atau
keimanan, tetapi terkait otoritas, kekuasaan, ruang eksistensial,
maupun pendapatan yang memang harus dibagi dalam pengaturan
penyelenggaraan kehidupan bersama termasuk dalam kegiatan keagamaan.
Selain itu, sesungguhnya umat Islam lebih mudah untuk dibawa bersatu
dari pada berkonflik tetapi ada orang-orang yang memanfaat emosi umat
untuk kepentingan di luar kepentingan Islam dan umat Islam sendiri.
Diantara orang Muhammadiyah dan NU juga sering muncul ketegangan
terkait otoritas pengaturan ini, di masjid-masjid misalnya. Pada saat
yang sama muncul ustadz-ustadz yang sebenarnya belum bisa mengajarkan
agama tetapi mengajarkan melaui tulisan buletin Jumat atau film
pendek di youtube. Maka kita penting sekali menangani upaya untuk
menyiapkan manajer atau tokoh tokoh yang dapat menterjemahkan
ajaran-ajaran agama yang toleran dan membawakan Islam rahmatan
lil’alamiin.
Menurut Abdul Basit, mengapa masyarakat kesulitan untuk
menerima perbedaan adalah karena kurangnya contoh langsung dari para
pemimpin mereka. Bila pemimpin memberika contoh baik dalm
bertoleransi maka yang di bawah akan mengikuti. Selain syariat yang
diberikan kepada Nabi Muhammad, hal terpenting kedua setelah al Quran
adalah sunnah, yaitu contoh-contoh bagaimana nabi Muhammad SAW
menjalani kehidupan. Abdul Basit juga mengingatkan, Islam tidak
mengajarkan untuk merebut kekuasaan, semua yang bertentangan dengan
ajaran rasulullah akan gagal. Untuk menjadi muslim sejati tidak perlu
dengan memiliki kekuasaan. 13 tahun di Makkah rasulullah di Makkah
juga tidak membangun kekuasaan. Kepemimpinan dalam Ahmadiyah disebut
Khalifah, tetapi kepemimpinan di sini bermakna spiritual, maka dapat
melintas batas-batas negara. Jemaat Ahmadiyah berada di 209 negara,
tidak ada konflik dengan kekuasaan negara. Ahmadiyah meyakini bahwa
cinta tanah air adalah bagian dari iman. Ajaran Islam lebih
ditujukan untuk pribadi masing-masing, meski keberagamaan setiap
orang akan berpengaruh pada kelompoknya.
Peserta dialog berharap agar pertemuan ini tidak
berhenti pada wacana, karena daat ini sangat dibutuhkan aksi nyata
dalam mengimbangi meluasnya paham yang memecah belah masyarakat
dengan penuh kebencian. Seorang Pendeta yang mengajukan pertanyaan
juga mengusulkan agar umat Kristiani juga mengimbangi usaha-usaha
kalangan muslim. Dalam konteks keindonesiaan, Pancasila masih perlu
ditanamkan kembali termasuk melalui pengajaran agama.
Menurut Abdul Mu’ti mengatakan bahkan di tingkat elit
Muhammadiyah pun masih beragam. Dalam soal Syiah misalnya keputuhan
PP adalah bahwa Syiah memiliki pandangan yang berbeda dan dengan
Ahmadiyah berbeda tafsiran. Keislaman perlu melihan fondasi ayat-ayat
universal, Islam sejak awal mengajak pada universal ikatan iman
melintasi batas-batas etnis bahkan agama. Untuk konteks Indonesia
memaknai bhinneka tunggal ika, harusmenjadi pilihan, sebagai ciri
keindonesiaan. Pendekatan ahlak yang diutamakan melintasi batas-batas
perbedaan tanpa harus jatuh pada sinkretisnya. Puncak beragama dalam
adalah ahlak karimah. Interaksi adalah untuk mencairkan hubungan,
termasuk dalam mengatasi hambatan varian dalam kepemimpinan dalam
Muhammadiyah. Dalam sebuah organisasi harus ada pemimpin yang berani
mengambil prinsip. Tapi bila prinsip itu diperjuangkan maka
prinsip-prinsip itu akan diakui. Repotnya lebih banyak pemain aman
dan dan kelompok oportunis. Perbedaan harus disadari bahwa kita tidak
satu, tetapi tidak satu tidak berarti tidak bisa disatukan.
Menanggapi hal ini membuka dengan pembahasan tentang
islam adalah sebuah keimanan, sedangkan islamisme adalah madzhab
politik berdasarkan
DR.Jalaluddin Rakhmat menambahkan bahwa penting sekali
kelompok-kelompok minoritas yang sebelum ini diam untuk bersuara,
karena bila tetap diam maka arus besar informasi akan makin
meminggirkan keberadaan kelompok-kelompok yang diam. Senada dengan
hal ini Prof. Machasin menambahkan bahwa gerakan yang menyuarakan
persaudaraan muslim dan keindonesiaan harus bergerak lebih agresif
untuk memperjuangkan keterbukaan dan keadilan bagi semua dan untuk
keutuhan Indonesia. Untuk semua usaha ini, Maulana Abdul Basit
menekankan pentingnya kerjasama dengan semua pihak yang berkehendak
baik bagi kehidupan bersama.
Klarifikasi Informasi
Sesi kedua adalah mengklarifikasi kesalahpahaman
antarkelompok, khususnya yang dialami oleh Syiah dan Ahmadiyah, serta
merencanakan kegiatan bersama yang mungkin dilakukan dalam rangka
meneguhkan persaudaraan muslim, keindonesiaan dan kemanusiaan.
Peserta mengajukan pertanyaan pada kelompok Ahmadiyah
tentang hal-hal yang banyak dipahami oleh masyarakat awam yang perlu
mendapatkan klarifikasi, yaitu benarkan Mirza Ghulam Ahmad adalah
nabi terakhir dalam keyakinan Ahmadiyah?, benarkah kitab suci
Ahmadiyah adalah kitab Tadzkiroh yang ditulis oleh Mirza Ghulam
Ahmad? dan Apakah sahadat kelompok berbeda dengan umat Islam pada
umumnya?. Amir Nasional Jemaat Ahmadiyah menangapi
pertanyaan-pertanyaan ini. Ahmadiyah sebagai pengikut Hazrat Mirza
Ghulam Ahmad, adalah seorang pengikut dan umat Nabi Muhammadi SAW
dalam seluruh syariatnya. Ahmadiyah memiliki pandangan bahwa ada
beberapa makna kata nabi. Ada nabi pembawa syariat dan sifat
kenabiannya berdiri sendiri, ada nabi yang sifat kenabiannya terkait
dengan kenabian yang lain, ada juga nabi yang merupakan pencerminan
dari nabi yang lain. Bagi Ahmadiyah, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah
seorang hamba yang sholeh, yang mendapatkan karunia nubuwat dan bagi
kalangan Ahmadiyah, sifat kalam Allah SWT tidak dapat dibatasi oleh
manusia. Kalangan Ahmadiyah juga meyakini Hazrat Mirza Ghulam Ahmad
tidak menerima kitab suci dan syariat baru. Kitab suci Ahmadiyah
adalah al Quran. Ahmadiyah Internasional telah menterjemahkan al
Quran dalam lebih dari 80 bahasa. Rukun Islam dan rukun iman jemaat
Ahmadiyah adalah sama dengan Ahlussunah waljamaah. Demikian pula
sahadatnya pun sama. Adapun kitab Tadzkiroh adalah kitab pengalaman
ruhani dari Hazrat Mirza Ghulam Ahmad yang ditulis ulang setelah
beliau wafat, untuk diketahui para pengikutnya.
Pertanyaan masyarakat awam terhadap kelompok Syiah yang
dibahas dalam dialog sesi kedua ini adalah terkait kawin mut’ah dan
tentang hal yang paling membedakan antara kelompok Suni dan Syiah.
DR. Jalaluddin Rakhmat menyampaikan perbedaan yang paling mendasar
dari Islam Suni dan Syiah yang hanya pada soal wasiat Nabi tentang
kepemimpinan setelah Beliau. Kelompok Suni berkeyakinan Nabi tidak
memberikan wasiyat, sementara kelompok Syiah berkeyakinan bahwa nabi
memberi wasiyat tentang kepemimpinan setelah beliau. Dalam perjalanan
kemudian memang muncul beberapa pemikiran yang unik di masing-masing
kelompok, dalam bidang fiqh, Mmisalnya tentang kawin mut’ah.
Jalaluddin Rakhmat menjelaskan dalam pengertian umum bahwa kawin
mut’ah adalah kawin yang bersyarat. Sementara sesungguhnya semua
orang Indonesia yang menikah di KUA membacakan sighot ta’liq yang
adalah juga pernikahan yang bersyarat. Ini tampak dalam pernyataan “
bila dalam sekian bulan berturut turut saya tidak memberi nafkah,
maka…”.
Syamsuddin Baharudin ketua IJABI juga menambahkan
tentang beberapa anggapan masyarakat awam bahwa kaum Syiah adalah
kelompok yang suka mengolok-olok Khulafaur Rasyidin. Syamsuddin
mengatakan bahwa tidak bisa dipungkiri pada setiap kelompok ada
orang-orang yang memiliki pandangahn yang keras dan tidak toleran.
Namun para ulama Syiah sudah bermufakat bahwa mengolok-olok para
sahabat adalah tindakan yang terlarang. Haram hukumnya bagi warga
Syiah mengolok-olok semua simbol-simbol suci yang dimiliki
saudara-saudara muslim Ahlussunah waljamaah. Maka sangat penting
dalam meneguhkan persaudaraan muslim, keindonesiaan dan kemanusiaan
ini,menurut Syamsuddin agar lembaga-lembaga agama Islam mempunyai
pernyataan sikap yang jelas, yang menyatakan misalnya, siapa yang
mengeluarkan pendapat-pendapat yang tidak mendukung toleransi adalah
pernyataanpribadi, bukan pernyataan resmi lembaga.
Salah satu tokoh Muhammadiyah yang hadir dalam Dialog
ini, DR. Hamim Ilyas membenarkan apa yang disampaikan DR. Abdul Mu’ti
bahwa Muhammadiyah memiliki pandangan yang sangat heterogen. Internal
Muhammadiyah belum satu suara tentang bagaimana mengejawantahkan
persaudaraan muslim dan keindonesiaan. Perlu ada upaya berkelanjutan
dan melibatkan lebih banyak pihak untuk mendaratkan gagasan-gagasan
ini sampai pada akar rumput.
Setelah melalui kalrifikasi terkait pemahaman tentang
kelompok Syiah dan Ahmadiyah, forum melanjutkan pembahasan tentang
langkah kedepan yang mungkin dilakukan. Panitia menyediakan naskah
deklarasi yang diharapkan dapat menjadi pengikat bagi keberlanjutan
usaha dialog dalam rangka meneguhkan persaudaraan muslim,
keindonesiaan dan kemanusiaan. Namun ada beberapa hal terkait redaksi
yang belum disepakati, maka akan dibentuk tim kecil yang membahas
naskah ini dan langkah-langkah selanjutnya sebagai tindak lanjut
dialog. Acara ditutup dengan foto bersama para peserta.
Dialog Suni-Syiah-Ahmadiyah Menyambut
Ramadhan, dengan
tema “Meneguhkan
Persaudaraan Muslim, Keindonesiaan dan Kemanusiaan”
diselenggarakan oleh Paguyuban Penggerak Pendidikan
Interreligius (PaPPIRus), bekerjasama dengan
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Pusat
Studi Agama-agama Universitas Kristen Duta Wacana (PSAA-UKDW).
Komentar
Posting Komentar