Pelatihan Guru-guru Lintas Agama: “Penguatan Wacana Pengelolaan Keragaman dan Peningkatan Kompetensi Metode Pembelajaran Pendidikan Interreligius bagi Para Guru”
Muntilan, 23-24 April 2017
Masyarakat Indonesia umumnya sangat menekankan kehidupan
religius. Untuk itu dibutuhkan upaya-upaya agar pendidikan
agama-agama juga memberikan andil dalam memajukan pendewasaan
kehidupan berbangsa dengan kesangupan mengelola perbedaan dalam
masyarakat yang majemuk. Sayangnya banyak pendidik agama yang
wawasannya hanya terbatas pada ilmu agama yang diampu dan sedikit
minat untuk memberikan sumbangan pada penguatan kehidupan berbangsa
dan bernegara .
Atas dasar pemikiran ini kami, Paguyuban
Penggerak Pendidikan Interreligius bermaskud menyelenggarakan
pelatihan untuk para guru agama untuk menambah wawasan tetang
keragaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, wawasan tentang
dialog dan kesanggupan mengelola keragaman dan meningkatkan kemampuan
dalam menumbuhkan kreatifitas dalam mengembagkan metode pembelajaran
maupun evaluasi belajar.
Sesuai dengan karakter paguyuban yang bersifat non
formal dan bergerak menggunakan prinsip-prinsip kesukarelaan,
menyelenggarakan kegiatan dengan bergotong royong menunjukkan
kesungguhan dalam upaya ini. Setiap partisipan dapat menyumbang
sumber daya baik berupa dana, keahlian dan ketrampilan, sarana dan
prasarasa maupun rekomendasi lain yang dibutuhkan untuk kelancaran
kegiatan. Melalui gotong royong ini, diharapkan iktikad kuat untuk
membangun kehidupan bangsa yang lebih baik melalui pendidikan dapat
terselenggara berdasarkan rasa kebersamaan sebagai satu bangsa, apa
pun latar belakangnya.
Tujuan umum penyelenggaraan Pelatihan untuk guru-guru
dengan cara bergotong royong adalah untuk mengundang keterlibatan
sebanyak mungkin elemen bangsa untuk berupaya agar pendidikan
agama-agama dapat berkontribudi dalam memperkuat pendewasaan bangsa
dengan kesanggupan mengelola keragaman dalam masyarakat.
Tujuan khusus penyelenggaraan kegiatan Pelatihan untuk
Guru-guru agama dengan tema “Penguatan Wacana Pengelolaan Keragaman
dan Peningkatan Kompetensi Metode Pembelajaran Pendidikan
Interreligius bagi Para Guru” adalah untuk : 1) Memperluas wacana
guru-guru tantangan keragaman dalam masyarakat dan bagaimana
mengelola keragaman tersebut menjadi kekuatan bersama sebagai bangsa.
2) Meningkatkan kompetensi guru dalam mengelola proses pembelajaran
dengan metode-metode yang kreatif dan partisipatif. 3) Memperluas
persaudaraan dan komunikasi antarguru dari berbagai latar belakang.
Tim pelaksana dari
kelompok relawan Paguyuban Penggerak Pendidikan Interreligius. Tim melakukan persiapan dengan berkomunikasi dan audiensi kepada lembaga-lembaga
terkait, yaitu lembaga pendidikan Taman Siswa, Kanwil Kemenag DIY,
Komisi Kataketik, Yayasan BOPKRI, Sanggar Sapta Darma dan tokoh
Khonghucu. Tim kemudian penyiapkan konsep yang tertuang dalam
proposal dan menyiapkan alur proses. Dari komunikasi dengan
lembaga-lembaga terkait ini. Peserta
yang mengikuti pelatihan sebanyak 32 orang guru agama Islam .
Peserta yang berangkat dari rekomendasi kanwi kemenag DIY adalah guru agama Islam sebanyak 8 orang, Hindu 3 orang, Budha 3
orang, Katolik 1 orang dan Protestan 1 orang. Peserta utusan dari
Yayasan BOKRI 2 orang, utusan dari Komisi Kataketik 6 orang, utusan
dari Taman Siswa terdiri atas guru agama Katolik, Protestan dan Islam
masing masing satu orang. Utusan dari sekolah Al Izhar Jakarta 2
orang. Utusan Sapta Dharma satu orang.
Pelatihan diselenggarakan pada Senin hingga Minggu, 23-24 April di Wisma Pastoran Sanjaya Muntilan. Acara dimulai pukul 13.00 dengan pembukaan, sambutan dari tuan rumah Romo Sugiono dan penyampaian Pengantar Kegiatan oleh Penyelenggara disampaikan oleh Listia.
Dijelaskan oleh Penyelenggara, dengan tema kegiatan yaitu, “Penguatan Wacana Pengelolaan Keragaman dan Peningkatan Kompetensi Metode Pembelajaran Pendidikan Interreligius bagi Para Guru”, penyelenggara bermaksud mengajak guru-guru agama untuk menyadari bahwa dalam masyarakat Indonesia, agama adalah aspek yang sangat penting. Untuk itu diharapkan guru-guru agama menyadari pula peran strategisnya, agar pendidikan agama dapat berkontribusi dalam pendewasaan kehidupan berbangsa yang majemuk.
Pelatihan diselenggarakan pada Senin hingga Minggu, 23-24 April di Wisma Pastoran Sanjaya Muntilan. Acara dimulai pukul 13.00 dengan pembukaan, sambutan dari tuan rumah Romo Sugiono dan penyampaian Pengantar Kegiatan oleh Penyelenggara disampaikan oleh Listia.
Dijelaskan oleh Penyelenggara, dengan tema kegiatan yaitu, “Penguatan Wacana Pengelolaan Keragaman dan Peningkatan Kompetensi Metode Pembelajaran Pendidikan Interreligius bagi Para Guru”, penyelenggara bermaksud mengajak guru-guru agama untuk menyadari bahwa dalam masyarakat Indonesia, agama adalah aspek yang sangat penting. Untuk itu diharapkan guru-guru agama menyadari pula peran strategisnya, agar pendidikan agama dapat berkontribusi dalam pendewasaan kehidupan berbangsa yang majemuk.
Kegiatan pelatihan dimulai dengan kontrak
belajar, untuk menjalin kesepakatan antarpeserta maupun
penyelenggara agar kegiatan berlangsung sebagaimana yang diharapkan.
Selanjutnya masing-masing peserta memperkenalkan diri, nama, asal
sekolah dan mengampu pelajaran agama apa. Proses perkenalan
dilanjutkan dengan menuliskan dan membahas bersama-sama
harapan-harapan yang memotivasi mengikuti kegiatan dan kekhawatiran
yang dapat muncul selama kegiatan. Tulisan tulisan tentang harapan
dan kekhawatiran kemudian dibacakan oleh dua orang peserta dan
dibahas bersama.
Sesi pertama yang dibahas adalah
tentang keragaman masyarakat
Indonesia dan persoalan-persoalan
kemajemukan. Peserta
diajak untuk mengenali lebih dekat keragaman dalam msyarakat. Peserta
juga mengungkapkan persoalan yang dihadapi, misalnya tentang
kecurigaan antarkelompok,ketidakrukunan yang kadang muncul, atau
pola-pola komunikasi yang timpang.
Untuk lebih mendalami bagaimana perbedaan ditanggapi
oleh masyarakat, peserta diminta oleh fasilitator untuk menceritakan
pengalaman perbedaan yang pernah dialami dalam berbagai segi
kehidupan. Peserta menyampaikan pengalaman-pengalaman, dalam hidup
terkait perbedaan agama, termasuk di dalamnya prasangka orang lain
pada mereka atau sebaliknya. Sesi ini ditutup dengan belajar bersama
tentang membongkar prasangka, diisi dengan dikusi dengan pemantik
DR.Suhadi.
Beberapa catatan penting dalam sesi diskusi ini adalah
bahwa dalam kehidupan sehari-hari, kata prasangka selalu berkonotasi
negatif. Misalnya prasangka bahwa semua orang Islam cenderung pada
kekerasan, semua orang Kristen akan mengkristenkan orang lain, orang
Hindu adalah penyembah berhala, dsb. Prasangka meluas dan seolah-olah
menjadi kebenaran karena karena tidak ada komunikasi yang
menghentikan anggapan yang belum dibuktikan kebenarannya namun
digeneralisir dan dibincangkan banyak orang seolah sudah terbukti
benar. Prasangka ini mudah sekali memuncullkan kebencian dan
ketegangan dalam hubungan-hubungan sosial. Karena itu prasangka perlu
diakhiri dengan membuka komunikasi dan membuka hubungan hubungan
dengan kelompok yang berbeda. Misalnya melalui kunjungan
antarkomunitas agama, tempat-tempat ibadah atau lembaga-lembaga
pendidikan dan saling berkomunikasi, termasuk hal-hal yang selama ini
dipikirkan tentang orang lain yang berbeda. Diskusi ditutup untuk
makan malam, shalat bagi muslim atau doa pribadi bagi non muslim dan
istirahat.
Setelah jeda istirahat, peserta
diperkenalkan dengan Model Pendidikan Interreligius
(PIR), meliputi ;metode, proses, dan
evaluasi. Purwono,
sebagai fasilitator menjelaskan kembali bahwa Pendidikan
Interreligius bukan pendidikan untuk mengganti pelajaran agama,
melainkan sebagai pengayaan yang penting tentang bagaimana mendidik
generasi muda agar memiliki keterbukaan, menghargai perbedaan dan
dapat menjalin kerjasama untuk kebaikan bersama, sehingga pendidikan
agama di Indonesia dapat turut memajukan bangsa.
Dalam Pendidikan Interreligius, perbedaan agama-agama
atau hal hal yang unik dalam setiap agama dihargai dan tidak
dihindari untuk dibicarakan, sebagai sarana untuk saling mengenal,
saling menghargai satu sama lain, yang dengan demikian setiap
perbedaan yang muncul dapat dikelola. Kemampuan mengelola perbedaan
ini perlu dididikkan pada generasi muda melalui lebaga-lembaga
pendidikan.
Dasar-dasar dalam Pendidikan Interreligius secara umum
adalah: 1) Keterhubungan antarmanusia dalam kehidupan, 2) Pentingnya
memiliki rasa kebersamaan dan mengupayakan kebaikan untuk kehidupan
bersama, 3) Proses pendidikan ini yang berorientasi menumbuhkan
kemampuan peserta didik untuk mengaplikasikan keimanannya bagi
kebaikan hidup bersama. Pendidikan Interreligius tidak berangkat dari
apa kata teks-teks agama, melainkan dri keimanan peserta didik dan
para pendidik (sesuai gama masing-masing) menanggapi pengalaman yang
dihadapi, kemudian menjadikan pengalaman tersebut, baik langsung atau
tidak langsung menjadi pengetahun yang dibina melalui proses ini.
Dengan berhadapan dengan berbagai pengalaman hidup konkret (yang
saling terhubung dengan berbagai aspek kehidupan ini), peserta didik
beserta para pendidik lebih mampu menemukan makna dari ajaran-ajaran
agamanya masing-masing.
Hari kedua
Kegiatan hari kedua dibuka dengan mereview
seluruh proses pelatihan padahari kemarin. Beberapa hal yang masih
menjadi ganjalan peserta juga dibahas pada pagi hari kedua.
Hari kedua ini peserta melaihat praktek metide yang
sudah dilakukan oleh Pak Sartana dan Bu Anis. Mereka juga
mempraktekkan beberapa contoh metode belajar PIR yang mereka pilih.
Dari praktek ini kemudian peserta membahas apa kesulitannya,
keunggulan dan bagaimana pengembangannya. Lima lagkah dalam metode
yang perlu diperhatikan adalah:
- Apa yang dilakukan guru untuk mengajak siswa pada pengamatan – observasi - sampai pada pengalaman interreligius.
- Apa yang dilakukan guru untuk mengajak siswa pada inspirasi nilai-nilai membangun semangat interreligiuus?
- Apa yang dilakukan guru untuk mengajak siswa agar mampu mendalami dan merenungkan pengalaman untuk menemukan nilai-nilai kebaikan bersama dari inspirasi agama yang dipeluk?
- Bagaimana cara guru membangunkan semangat dan inisiatif siswa untuk mengadakan aksi nyata dari pengetahuan dan nilai-nilai yang ditemukan?
- Model apa yang dipilih oleh guru untuk melakukan evaluasi pembelajaran interreligius ini untuk peserta didiknya?
Pelatihan kemudian ditutup dengan perbincangan tentang Pendidikan Interreligius yang masih menghadapi tantangan meski ini merupakan jawaban dalam membangun perdamaian dan kerukunan hidup beragama yang majemuk. Peserta mengharapkan adanya tindak lanjut dalam bentuk komunikasi antarpeserta, mengajukan gagasan ini pada pemerintah agar dapat dipraktekkan mengingta hambatan strukturan dan kultur lembaga –lembaga pendidikan yang seringkali tidak terbuka.
Peserta dan penyelenggara menyampaikan terimakasih, doa bersama dan ditutup dengan
makan siang bersama
Terimakasih mbak Listia, yg tlh mereview kegiatan ini dg apiknya. Juga terimakasih rekan panitia, relawan dan juga semua lembaga yg mendukung suksesnya kegiatan ini. Tak terkecuali BPK ibu gr agama g hadir.
BalasHapusAlhamdulillah bisa mewujudkn kegiatan belajar bersama seperti ini sungguh menguatkan. Ini pengalaman yg luar biasa. Mohon maaf jk masih ada kekurangan. Rindu untuk kesempatan berbagi pngalaman berikutnya.
Selamat siang, saya Ignasius S. Mahasiswa S3 Tekno Pendidikan Unesa. Apakah boleh saya mendapat materi model Pendidikan Interreligius. Sya berminat mengembangkan model pembelajaran dengan pendekatan interreligius. No kontak saya 087888121706
BalasHapus