Langsung ke konten utama

Pelatihan untuk Guru-guru Lintas Agama ke-2




PaPPIRus untuk kali kedua menyelenggarakan Pelatihan guru-guru lintas agama pada tanggal 6-8 Oktober 2017 di Wisma Sanjaya. Kegiatan ini terlaksana atas kerja gotong royong dengan berbagai kalangan dan para relawan panitia serta relawan fasilitator. Mengusung tema “Penguatan Wacana Pengelolaan Keragaman dan Peningkatan Kompetensi Metode Pembelajaran Pendidikan Interreligius bagi Para Guru”, pelatihan ini diikuti oleh 27 guru lintas agama di bawah kordinasi Kantor Wilayah Kementerian Agama DIY, maupun dari sekolah-sekolah swasta yaitu SD Tumbuh 2 dan 4, SMA BOPKRI 1, SMP Stella Duce, Madrasah Aliyah PP Sunan Pandan Aran, SMK Penerbangan.

Hari pertama
Kegiatan dimulai pada pukul 16.00 diisi dengan doa pembuka sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing peserta, dipimpin oleh MC ibu Farikhatin. Sambutan atas nama tuan rumah oleh Bapak Purwono dilanjutkan dengan penyampaian tata tertib penggunaan ruangan di tempat pelatihan bagi pendidik.
Pengantar kegitan disampaikan oleh ibu Listia dengan pengenalan tentang PaPPIRus, yaitu Paguyuban dari para pendidik, peneliti, mahasiswa dan masyarakat yang memiliki perhatian kuat pada upaya pembeharuan pendidikan agama dengan kerangka berfikir Pancasila dan bhinneka tunggal ika. Pendidikan Interreligius adalah Pancasila dalam pendidikan agama. Disampaikan juga dalam pengantar ini, bahwa sebelum gagasan pendidikan interreligius menjadi lebih  sistematis seperti saat ini, beberapa kalangan telah mencoba membuat pendidikan alternatif untuk menjawab tantangan keragama, seperti pendidikan religiusitas, pendidikan komunikasi iman, pendidikan berbasis pengalaman. Melalui pelatihan ini peserta bersama fasilitator bisa belajar bersama agar pendidikan agama dapat menjawab tantangan kehidupan. Tuhan sudah memberi banyak jalan, dan bagi bangsa Indonesia Pancasila adalah common word atau kalimatun sawa yang menjadi titik temu agama-agama yang berbeda untuk bekerjasama menghadapi tantangan kehidupan tersebut dalam dunia yang saling terhubung saat ini.


Berbagi 'seduhan teh'



Pelatihan dimulai dengan perkenalan dan kotrak belajar.  Sesi pertama ‘cups of tea of professionality’, berbagi kisah tentang berbagai sisi pemenuhan profesionalitas sebagai pendidik. 
Peserta dibagi dalam kelompok, kemudian masing-masing kelompok dipersilakan memilih jenis-jenis teh yang akan dibahas; a) white tea membahas tema tanggung jawab profesi pendiidk , b) green tea, tentang  karya dan pengabdian sebagai pendidik,  c) blue tea, tema yang  membahas persepsi kesuksesan bagi pendidik, d) black tea, tentang sikap menghadapi berbagai tantangan dalam menjalankan profesi pendidik, e) Yellow tea, adalah tema tentang hal-hal yang dilakukan dengan gembirak yang berdampak mengembangkan profesionalitas bagi pendidik.
Dari beberapa jenis ‘cangkir teh’ yang dipilih dan apa yang dibincangkan. Tujuan ‘penyajian’ berbagai jenis teh ini adalah untuk mengungkap dan merefleksikan berbagai sisi profesionalitas para peserta sebagai seorang pendidik. Diharapkan peserta dapat menilai sendiri profesionalitasnya, untuk kemudian dapat dikembangkan agar dapat mengambil peran lebih besar bagi generasi masa depan. Salah satu peran penting yang dapat dikembangkan oleh guru-guru agama adalah dalam menyiapkan generasi muda untuk mampu mengelola keragaman masyarakat bagi kemajuan NKRI. Peningkatan peran dimungkinkan bila kompetensi tumbuh. Diharapkan ‘sajian berbagai jenis teh’ ini juga dapat menumbuhkan sikap yang rileks, ketika menghadapi berbagai tantangan dalam masyarakat beragam.

Hari kedua
Para peserta diajak untuk melihat lebih dekat keragaman dengan melakukan touring culture, tamasya keragaman di beberapa komunitas agama dan kepercayaan. Pada tanggal 7 Oktober 2017 pagi hingga siang, peserta pelatihan mengunjungi Paguyuban Pran Soeh, Klenteng Hok An Kiong dan Musium Misi Muntilan Pusat Animasi Misioner. Satu tempat yang batal dikunjungi adalah Kauman Muntilan karena bersamaan dengan kegiatan para ustadz di luar kota. Di tempat-tempat yang dikunjungi, peserta mendapat banyak informasi sejarah, ajaran-ajaran, ragam komponen peribadatan. 



Belajar memahami proses pencarian iman di Paguyuban  Pransoeh
      Secara umum peserta bergembira mendapatkan banyak informasi langsung dari sumbernya, tentang berbagai sisi yang unik dari komunitas-komunitas yang dikunjungi. Beragam komentar disampaikan peserta setelah tamasya budaya hari Sabtu pagi hingga siang itu. 
Ibu Khristin, kepala sekolah SD Tumbuh 4 mengatakan, “ Awalnya saya kesulitan menerima dan memahami, tapi ketika saya melepaskan kacamata saya, saya bisa menerima dan memahami hal-hal yang berbeda dari yang saya miliki”.  Pak Nasir, Guru MAN 2 Bantul berpandangan, “Walaupun kita berbeda-beda, arah semuanya harus menjunjung tinggi perdamaian. Agama bukan untuk menghakimi orang lain”. Pak Hasan, guru agama Islam yang tengah menempuh Studi Paska Sarjana Pendidikan di UIN Sunan Kalijaga mengajukan pendapat dengan konsep yang lebih luas, “Banyak cara menuju Tuhan. Satu rumah seribu pintu. Tuhan bisa didekati dengan berbagai cara. Setiap orang memiliki cara berbeda, cara pendekatan ini bersifat relatif. Setiap orang mengatakan agama saya benar maka kebenarannya relatif karena yang mutlak hanya Tuhan, ” menurut pak Hasan. Pak Marnaka, guru agama Hindu berpendapat dalam kalimat singkat dan padat, “Hanya satu tujuan, yaitu Tuhan”. Lebih jauh, Pak Supriyanto, guru agama Budha, memiliki pandangan yang lebih optimistis, “Tidak masalah, berapa ribu aliran, tidak masalah.  Akan menjadi masalah bila mencelakan diri sendiri dan masyarakat. Aliran yang bisa membantu diri sendiri dan orang lain itu baik”.


Mendapat banyak informasi sejarah di Musium Misi Muntilan


       Setelah sesi pengungkapan pesan pembelajaran dari kunjungan pada tiga komuitas dilanjutkan dengan sesi membongkar prasangka untuk membangun saling pengertian dalam masyarakat yang beragam.  Sebelum dimulai Romo Suhadiyanto SJ mengajak peserta bernyanyi bersama lagu dari Mujiono, "manisnya negeriku" dan "Nusantara 2" dari Koes Plus. 
Catatan penting dihasilkan dari sisi ini adalah bahwa saling pengertian akan terjadi, ketika tiap komponen masyarakat tidak hanya menggunakan cara pikirnya sendiri untuk memahami pihak lain. Demikian halnya, kemampuan menghargai dan menghormati keunikan tidak komunitas yang berbeda terjadi ketika tiap komponen masyarakat tidak mengedepankan cara pandang dan kepentingan ego masing-masing kelompok. Toleransi akan terjadi, ketika masing-masing komponen mampu menyelami, bahwa  “tiap orang dan (konponen masayarakat) memiliki proses pencarian yang berbeda-beda untuk menuju kesempurnaan hidup”, sebagaimana disampaikan Teguh Suwarno, Guru Agama Katolik SMAN 3 Yogyakata. Sesi membangun saling pengertian dilengkapi dengan kesaksian dan pengungkapan pengalaman pribadi dari Romo Suhadiyanto, SJ dan Ibu Anis Farikhatin, terkait prasangka dalam hubungan antarumat beragama.


Praktik membuat rancangan metode PIR


      Di sesi terakhir hari kedua, peserta mengkaji metode pendidikan interreligius, baik metode pembelajaran maupun evaluasinya dan praktek membuat perencanaan. Setelah mendapat uraian tentang bagaimana kekhasan pendidikan interreligius sebagai suatu model pengayaan pendidikan agama untuk masyarakat beragam, peserta berkelompok untuk membuat rancangan pembelajaran untuk kemudian dipresentasikan.
      Pada hari ketiga, sesi awal peserta mendapatkan contoh praktek metode dan evaluasi belajar pada pendidikan interreligius yang dipraktekkan di SMA BOPKRI 1 Yogyakarta oleh Pak Sartana. Setelah itu masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusi malam sebelumnya tentang rancangan proses pembelajaraan. Pembahasan yang cukup penting dalam diskusi kelompok adalah tentang membangun relasi setara dan bukan relasi kekuasaan dalam proses pembelajaran antar pendidik dan peserta didik agar partisipasi peserta didik lebih optimal dan menjadi pembiasaan bagi saling menghormati dengan penuh kesadaran.


Pak Ibnu menyampaikan hasil rancangan pembelajaran kelompok

      Usai presentasi, dilakukan dialog dan pembahasan pada beberapa konteks peserta. Dari pembahasan tentang konteks materi pembelajaran, dibahas tentang perbedaan muatan materi yang sangat padat dalam pelajaran PAI, terutama di madrasah. Rekomendasi yang diberikan dari sesi itu adalah, pendidikan interreligius dapat dijalankan pada materi-materi yang membahas kehidupan bersama dalam masyarakat.
      Kegiatan diakhiri dengan evaluasi bersama oleh peserta dan tim fasilitator. Proses pelatihan ini juga menjadi kesempatan saling belajar untuk semua yang terlibat dalam kegiatan. Rencana tindak lanjut yang disepakati adalah perlunya media komunikasi untuk melanjutkan proses belajar bersama antarguru lintas agama. Diusulkan juga oleh sebagian peserta, dalam hal ini pak Nasir dan pak Marnaka, tentang perlunya kerjasama dengan lembaga-lembaga pemerintah agar terjadi sinergi dalam mengusung tujuan dari gagasan pendidikan interreligius.


______________




Ringkasan Pengenalan Pendidikan Interreligius/PIR

Pendidikan Interreligius adalah pendidikan dengan sistematika yang disusun dari titik temu atau common word atau kalimatun sawa di antara agama-agama yang berbeda. Dalam titik temu ini ada banyak nilai kebaikan yang sama yang diajarkan oleh berbagai agama untuk kehidupan bersama di mana kepentingan umum (common goods) harus terpenuhi.
Tiap agama memiliki keunikan masing-masing, disitulah perbedaan antaragama kita kenali. Namun di dalam beragam perbedaan tersebut ada satu hal yang secara filosofis harus diterima : bahwa Tuhan yang menciptakan seluruh alam semesta beserta keteraturannya dan seluruh manusia, baik Hindu, Buddha, muslim, Kristiani,....adalah Tuhan yang sama. Tiap agama menyebut Tuhan dengan nama yang berbeda dan dalam menjelaskan tentang Tuhan pun terdapat sikap dan rumusan yang berbeda-beda pada tiap agama. Perbedaan cara penjelasan terkait dengan cara pikir maupun bahasa masyarakat (tempat pertumbuhan awal agama-agama tersebut).
Pendidikan Interreligius disusun bukan untuk menggantikan pendidikan agama, melainkan bentuk pengayaan atau suplemen yang sangat penting bagi pendidikan agama yang diajarkan pada masyrakat yang majemuk. PIR memiliki kerangka berfikir bahwa ; agama-agama memang berbeda, tetapi keimanan pada Tuhan Yang Maha Esa menyatukan umat manusia. Kerangka pikir ini selaras dengan semboyan negara kita yang sudah dicetuskan sejak abad 14 lalu; Bhinneka tungga ika, bahwa dalam beragam perbedaan tetap ada dimensi yang menyatukan. Kalimat lengkapnya bhinneka tunggal ikan tan hana dharma mangrwa, yang bila diterjemahkan secara bebas mengandung pengertian ‘pada berbagai ragam perbedaan, terdapat hal yang menyatukan, tidak ada jalan kebenaran yang rancu atau tak dapat dipahami’. Maka mengetahui dan pengenali agama lain tidak akan merusak keimanan kita yang unik, justru makin menyadarkan kita akan KeagunganNya atas kehidupan yang sangat luas dan beragam ini.
Pendidikan Interreligius berorientasi pada kesalehan sosial, karena keimanan pada Tuhan harus memberi dampak baik bagi kehidupan. Di sinilah Pendidikan Interreligius dapat dikatakan juga sebagai Pancasila dalam Pendidikan Agama, karena Pancasila adalah nilai-nilai luhur bagi kehidupan yang juga diajarkan dalam semua agama.  
Dengan beranjak dari titik temu atau common word agama-agama inilah Pendidikan Interreligius menyelenggarakan proses pembelajaran yang mendorong peserta didik untuk belajar langsung pada kehidupan, khususnya tentang bagaimana hidup bersama seluruh umat manusia di dunia ini dijalani, misalnya tentang tema solidaritas, kejujuran, kemiskinan, kerusakan lingkungan atau tema-tema lain yang sering muncul dalam kehidupan bersama. Luasnya sumber belajar membutuhkan partisipasi aktif seluruh peserta didik. Karena itu dibutuhkan guru-guru yang mampu membangun relasi setara dengan peserta didiknya.
Membangun relasi setara adalah ekpresi dari pemberian kepercayaan pada pihak lain. Dengan kepercayaan yang diberikan oleh pendidik, akan mendorong peserta didik lebih berusaha membuktikan bahwa dirinya mampu bertanggung jawab. Membangun relasi setara juga merupakan perwujudan dari sikap rendah hati seorang pendidik yang akan diteladai oleh peserta didik. Dengan sikap ini, seorang pendidik menyampaikan pesan bahwa dirinya bukan segala-galanya dalam proses belajar, karena pendidik pun turut belajar dan menambah pengetahuan baru bersam-sama. Proses ini akan menyenangkan, karena beban ditanggung bersama
. Usaha mempraktekkan konsep pembelajaran yang terintegrasi membutuhkan perencanaan yang melibatkan peserta didik sebelum kegiatan dilaksanakan. Perlu digarisbawahi bahwa belajar bukan sekedar mengetahui, melainkan mensistematisir pengetahuan. Pengetahuan ini bisa didapat dengan kegiatan pengamatan, penelitian pustaka, kajian film, wawancara, tinggal bersama dalam suatu komunitas yang berbeda dalam suatu kurun waktu tertentu, diskusi terarah tau campuran dari beberapa metode ini. Namun ketika pengetahuan ini makin tersistematisir, belum menjadi pendidikan interreligius bila proses ini tidak diisi dengan proses belajar pada ajaran agama yang dianut oleh masing-masing peserta didik, terkait masalah yang sedang dipelajari tersebut. Dengan ini, peserta didik belajar dari dalam agamanya masing-masing sambil mendengar juga pembelajaran oleh peserta lain dari agama mereka. Bila seluruh peserta didik menganut agama yang sama, maka pada proses ini bisa dibantu menghadirkan guru agama yang berbeda atau pihak yang diketahui memiliki kompetensi yang dibutuhkan, supaya terjadi dialog.
Pertumbuhan pengetahuan atas berbagai sisi kehidupan dan keimanan akan makin terasah ketika diakhir proses, peserta didik diberi kesempatan dalam tahap akhir proses untuk berkreasi mewujudkan suatu karya sederhana terkait tema yang telah dikaji, didalami dan direfleksikan sesuai ajaran agamanya. Pada proses akhir ini, pendidikan Interrelgius mengkaitkan secara langsung antara iman dan perbuatan baik.
Untuk melakukan evalusi, proses yang dilalui oleh peserta didik adalah hal yang sangat penting, karena mengandung banyak nilai yang bisa diamati; dalam menumbuhkan keberanian, kejujuran, kesungguhan dalam mengejar kualitas, cermat, disiplin, solidaritas dengan teman dll. Artinya dengan metode ini evaluasi tidak terfokus pada hasil akhir.  Metode  belajar dalam pendidikan interreligius selaras dengan kurikulum 2013, sehingga evaluasi serta penilaian oleh pendidik dapat dilakukan dengan kreatif (LT).


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tantangan Baru Pendidikan Toleransi di Indonesia

  Pandemi telah mengubah cara kerja masyarakat seluruh dunia. Semua pihak harus dapat beradaptasi dengan situasi penuh resiko ini agar tetap sehat dan semua aktivitas kehidupan dapat dilanjutkan. Demikian halnya dalam berbagai aktivitas pendidikan, selain harus mencari strategi yang aman dan efektif, juga harus tetap kreatif sehingga proses belajar mengajar berlangsung tanpa beban dan berdampak mencerdaskan.     Adaptasi Perkumpulan Pappirus terus mengupayakan pengembangan pendidikan keagamaan yang menumbuhkan kultur belajar yang memungkinkan tumbuhnya kesadaran menerima keragaman sebagai kodrat manusiawi dan mengajak para pendidik agar dapat membantu peserta didik mengembangkan sikap toleran serta mampu bekerjasama dengan orang yang berbeda latar belakang. Adaptasi dalam mengelola perkumpulan antara lain dengan migrasi kegiatan secara daring atau gabungan daring dan luring, sebagaimana dilakukan dalam Rapat Umum Anggota Perkumpulan ke-3, 25 April 2021 dan pertemuan Pengurus Periode ba

PENTINGNYA PERUBAHAN PARADIGMA UNTUK MERAWAT RUH PENDIDIKAN

    Catatan Moderator Seri 01 Program ‘NGOPII Yoo’ atau ‘Ngobrol Pendidikan Interreligius-Indoneisa dari Yogyakarta’, adalah perbincangan untuk masyarakat umum secara daring, yang diselenggarakan atas kerjasama Perkumpulan Pappirus, Rumah Kearifan, Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Sanggar Anak Alam, setiap hari Rabu malam. Seri pertama Ngopii yoo pada Rabu, 11 Agustus 2021 mengangkat tema ‘Pendidikan yang Memerdekakan’. Banyak pemikiran berharga dalam perbincangan ini. Untuk itu moderator akan menyarikan gagasan-gagasan menarik di dalamnya untuk diunggah di laman pappirusindonesia.org                    Kehidupan bermasyarakat mengalami perubahan sangat cepat, dampak dari perkembangan teknoliogi digital pada berbagai proses kehidupanbaik dalam pengorganisasian, komunikasi maupun proses produksi barang dan jasa. Bukan hanya pada level permukaan, perubahan juga terjadi dalam penghayatan nilai-nilai. Menyambut ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke 76, sebagai bentuk ra

Ziarah Peradaban Nusantara

                      Menurut sebagian orang ‘sejarah ditulis oleh para pemenang’, yaitu menggunakan cara pandang mereka yang secara politik dapat menuliskan ingatan tentang apa yang penting dan menanggalkan apa yang tidak penting menurut penulis. Namun sejarah tidak sekedar apa yang ditulis. Ada banyak situs, yaitu keberadaannya dalam ruang hidup manusia dari masa ke masa menyajikan keterhubungan banyak informasi yang seringkali luput dari apa yang telah ditulis. Situs-situs juga dapat menjadi pintu masuk mengantar pada imajinasi dan pemahaman cara hidup manusia dalam mengelola masyarakat kala itu. Situs menjadi sumber pengetahuan dan inspirasi.                           (Arca Garuda Wisnukencana di Musium Trowulan Mojokerto)             Minat pada sejarah di kalangan masyarakat Indonesia masih sangat rendah, dalam pengertian sejarah tidak dianggap sebagai sumber belajar, yang tidak sekedar menjadi memori yang menguatkan posisi para pelaku sejarah, melainkan sebagai inspirasi dalam