Beberapa
dekade terakhir, banyak lembaga telah melakukan penelitian dan kajian tentang
segi-segi kehidupan berbangsa dalam dunia pendidikan. Telah banyak disampaikan
pada publik tentang makin berkembangya paham keagamaan yang radikal dan
transnasional, meningkatnya tindak kekerasan serta pelecehan seksual di lembaga-lembaga
pendidikan. Sementara itu lembaga pendidikan dengan berbagai inovasinya, secara
umum tidak mampu menghentikan laju kesenjangan sosial yang makin sulit terjembatani,
yang menimbulkan risiko sosial tersendiri. Padahal pendidikan merupakan upaya
yang paling dapat diharapkan dalam menyiapkan manusia Indonesia masa depan yang
dapat menghadapi berbagai tantangan kehidupan bersama. Perhatian yang lebih
sungguh-sungguh pada sistem dan kultur pendidikan di Indonesia menjadi sangat
strategis, karena melalui sistem pendidikan, kualitas manusia Indonesia dapat
ditumbuhkan dan visi kebangsaan dapat dikomunikasikan dari generasi ke generasi.
Pada
tanggal 14 Februari 2018 di Jogjakarta, melalui kerjasama gotong-royong empat
lembaga, Sub Komisi Pemajuan HAM Komnas HAM RI, Perkumpulan Penggerak
Pendidikan Interreligius (PaPPIRus), Setara Institut dan AMAN Indonesia, telah diselenggarakan sarasehan dengan tema “Membangun Inisiatif Pendidikan
Berparadigma Pancasila. Tema ini sesungguhnya
adalah tema yang sangat besar, dirumuskan dengan penuh kesadaran bahwa ada
banyak persoalan pendidikan di tanah air saling terkait di banyak segi yang harus
dicermati agar dapat diatasi, ditengah laju pertumbuhan masalah baru seiring
perubahan hidup manusia yang sangat cepat. Tema besar ini dihadirkan untuk
memantik keberanian melihat luasnya cakupan persoalan dan perlunya membuat
rumusan masalah yang tidak sekedar menjadi respons hal-hal yang bersifat
pinggiran atau permukaan semata.
Dalam
pengantar kegiatan, Listia mengungkapkan latarbelakang kegiatan ini bahwa,
“Masalah yang ada dalam dunia pendidikan kita merata dalam ranah kultural
sekaligus struktural,
sehingga membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan
sistemik. Pertumbuhan masalah yang akarnya antara lain berkelindan dalam dunia
pendidikan, menyebabkan inisiatif-inisiatif baik yang sudah dirintis oleh
banyak lembaga akan selalu tertinggal oleh laju perkembangan persoalan. Karena
itu kerjasama yang melibatkan lembaga negara maupun masyarakat sangat
dibutuhkan”.
Listia
|
Adoniaty Meyria |
M. Halili, Koordinator Bidang Riset Setara Insitute |
Pemantik
diskusi kedua adalah Beka Ulung Hapsara dari Komnas HAM. Beka menyorot
persoalan dalam dunia pendidikan dari spektrum yang lebih luas, yaitu dengan
memperlihatkan dampak dari arah pendidikan yang tidak berorientasi pada
keadilan sosial dalam sebuah masyarakat
yang sangat majemuk yang hidup di
wilayah yang sangat luas. Realitas yang terjadi justru kecenderungan
meningkatnya paham rasikal di kalangan generasi muda. Pada kesempatan ini diungkapkan
data-data tentang kesenjangan sosial yang tidak direspons oleh lembaga-lembaga
pendidikan, sementara keadilan sosial
adalah ranah tempat tumbuh dan berkembangnya martabat manusia, hal yang menjadi
pusat perhatian Komnas HAM. Usaha yang lebih kuat untuk membumikan
Pancasila menjadi makin mendesak dilakukan.
Beka Ulung Hapsara dari Komnas HAM |
Beranjak
dari dua pemaparan pemantik diskusi yang mengangkat banyaknya persoalan yang
terkait dunia pendidikan, pemantik ketiga, Ki Priyo Dwiarso mengingatkan
kembali beberapa ajaran Ki Hadjar Dewantara, seorang pemikir pendidikan yang
menjadikan wawasan budaya dan kebangsaan sebagai ruh penggerak upaya-upaya
pendidikan. Pada kesempatan ini Ki Priyo
menyampaikan salah satu ajaran Ki
Hadjar yang sangat kuat menjunjung penghormatan pada aspek kemanusiaan dalam
pendidikan melalui sistem among tut wuri
handayani yang bertujuan untuk “membina jiwa siswa agar merdeka lahir batin
dan tenaganya”. Pendidikan dengan sistem among ini terjabar dalam konsep tri
pusat pendidikan, yaitu proses pendidikan harus sinergis antara pendidikan
dalam rumah, pendidikan dalam masyarakat dan pendidikan di sekolah. Tiga pusat
pendidikan ini akan dapat berhasil dengan konsep pendidikan semesta, yaitu sebuah
cara pandang bahwa seluruh segi kehidupan adalah sumber belajar.
Ki Priyo Dwiarso |
Tiga
pemantik diskusi ini mendapat tanggapa oleh forum. Agus Wahyudi yang
berpendapat bahwa dalam melihat fenomena estrimisme, ada sisi kemanusiaan
pelaku yang dalam ruang-ruang domestik hidup secara wajar. Menurut Agus tindakan
radikal seringkali merupakan pilihan politik
yang bersangkutan, yang mana
fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, karena terkait dengan banyak
persoalan, termasuk persoalan ketidakadilan sosial. Karena itu perlu ada
kejelasan tentang visi kebangsaan sebagaimana tercantum dalam konstitusi, bahwa
kemerdekaan dan kedaulatan harus diwujudkan antara lain dalam upaya
perlindungan negara dan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Visi pendidikan
juga harus bersesuaian visi kebangsaan, yaitu prinsip kemerdekaan dan
kesetaraan.
Agus Wahyudi |
Prof. Gunawan Santoso, Dewan Pendidikan DIY |
Prof.
Gunawan Susanto, yang memberikan penegasan bahwa dalam membangun penalaran atas
situasi pendidikan saat ini, maka perlu diperjelas rumusan masalahnya. Keadaan
yang kita hadapi saat ini sebagian besar adalah akibat dari proses dalam sistem
yang lebih besar, dari suatu pilihan idiologis yang dengan sendirinya akan mengejawantah
dalam praktik. Penting disadari bahwa saat ini Indonesia menghadapi darurat
pendidikan. Pendidikan di Indonesia mengalami keterjajahan oleh adanya
pen-disiplin-an (spesialisasi bidang keilmuan) sehingga satu bidang dengan
bidang lain seolah tidak saling terhubung, sehingga kehidupan menjadi
tersegmentasi dan semata-mata rasional. Apa yang dipahami saat ini sebagai
proses pendidikan, sesunguhnya baru proses pengajaran yang berkutat pada
penguatan rasio dan guru terjerat dalam SOP pengajaran. Padahal pendidikan
terutama mengarah pada hati, dan proses pendidikan adalah seni membawakan
pengalaman, meng-alam-kan siswa, menyediakan situasi dan kondisi siswa agar
potensi kodratinya dapat tumbuh dan berkembang.
Bila
falsafah Pancasila dipandang dapat menjadi solusi, "bagaimana persisnya pendidikan
yang berparadigma Pancasila itu diwujudkan?". Dalam kaitan ini muncul diskusi
antar Ki Priyo, Prof. Gunawan dan Romo Suhardiyanto, SJ, bahwa yang dibutuhkan bukan
hanya metode pendidikan Pancasila yang lebih menarik bagi penalaran generasi
muda saat ini, melainkan bagaimana menyiapkan kultur yang mendukung. Mengingat
pengalaman adalah guru terbaik, maka siswa perlu mengalami perwujudan
nilai-nilai Pancasila, menginternalisasi dan selanjutnya menumbuhkan potensi kodratinya
menjadi manusia yang Pancasilais. Oleh karena itu menurut Prof. Gunawan, Pak
Andar dan Rusman Wibowo, titik masuknya adalah melalui komunitas-komunitas
pendidik dan penyelenggara sekolah atau lembaga pendidikan.
Menurut
Prof. Gunawan, untuk mewujudkan Pendidikan yang Pancasilais, berarti fokus
pada peserta didik, yang dilakukan tidak hanya menempatkan Pancasila sebagai
dasar tatanan kehidupan bersama, melainkan menyelenggarakan proses pendidikan
dengan ‘mem-pancasilakan materi, agar selanjutnya dapat mem-pancasila-kan murid’.
Untuk itu, sekurang-kurangnya perlu ada pergeseran perspektif dalam beberapa
hal yang sangat mendasar dalam filsafat pendidikan : dari yang positivistik ke
naturalistik, dari etik ke emik, dari sistematik ke sistemik, dari disiplin
menjadi trans-disipliner, dari internasionalisme menjadi nasionalisme, dari
individual ke kelompok, dari sharing pengalaman menjadi dialog, dari tekstual
menjadi kontekstual dan seterusnya. Dengan menggeser perspektif dalam paradigma
yang positivistik ini, akan memungkinkan
sebuah praktik yang secara sistemik dapat dilakukan, dengan fokus prioritas
secara berurutan pada 1) yang dididik, 2) yang dididikkan-materi, 3) yang
mendidik, 4) ruang dan waktu, 5) sarana. Bila dirangkum, dengan upaya menggeser perspektif yang biasa
digunakan ini akan tampak skema sebagai berikut : pergeseran perspektif akan
berimplikasi pada merubahan metode, perubahan metode memunculkan perubahan
teknik dan taktik dalam proses pendidikan. Diharapkan dengan upaya menggeser perspektif
dan menjadikan Pancasila sebagai falsafah pendidikan Indonesia, keunikan
masing-masing murid dengan segala latar belakangnya tidak terabaikan, karena
“Menyeragamkan keragaman alamiah adalah kecelakaan peradaban”
Elga
Sarapung dan Nanik Martiyah menyoroti
peran keluarga-keluarga yang tidak menjalankan fungsi pendidikan dan
mempengaruhi tata pergaulan dalam masyarakat. Kondisi keluarga-keluarga ini
tentu mewarnai situasi masyarakat dan karakter generasi muda. Gagasan Tri
Pusat Pendidikan sebagaimana diusung oleh Ki Hadjar Dewantara menjadi sangat
relevan untuk dihidupkan, termasuk dengan menjadikan semua lembaga publik
mengemban fungsi pendidikan masyarakat.
Pada
sesi akhir, beberapa usulan untuk dikembangkan menjadi inisiatif. Pak Priyo
mengusulkan untuk membuat kurikulum baru yang lebih mewadahi pembaharuan
pendidikan dari taraf filofosi hingga teknis. Pak Jujur mengusulkan untuk
merevisi kurikulum PPKn agar lebih banyak muatan Pancasila dan tidak penuh
dengan materi ketatanegaraan. Rusman Widodo menyampaikan bahwa Komnas HAM dalam
proses membuat program rintisan Sekolah Ramah HAM yang akan digulirkan melalui
mata pelajaran PPKn. Iqbal Ahnaf mengusulkan agar PaPPIRus dapat berkeliling ke sekolah-sekolah untuk mengenalkan model pendidikan Interreligius untuk
pengayaan pendidikan agama. Yang sudah dilakukan adalah PaPPIRus melatih
guru-guru lintas agama dengan dukungan Kantor Wilayah Kementerian Agama DIY.
Pada tingkat perguruan tinggi, Elga Sarapung sempat menyoroti banyaknya sarjana
agama yang masih gagap dalam mengkaitkan teks-teks kitab suci dengan semangat
kebangsaan. Terkait dengan hal ini, Hairus Salim mengusulkan agar di tingkat
Perguruan Tinggi umum tidak perlu diselenggarakan pendidikan agama
konvensional, melainkan pendidikan agama-agama, agar dalam menumbuhkan
pengetahuan dan semangat keagamaan memiliki relevansi dengan pertumbuhan
pengetahuan dan semangat kewarganegaraan.
Sarasehan
ini telah mempertemukan berbagai kalangan di Yogyakarta yang memiliki
keprihatianan pada dunia pendidikan di Indonesia. Selain empat lembaga sebagai
pengundang,
peserta yang hadir dari Dewan Pendidikan Yogyakarta, Perguruan Taman Siswa, Dinas Pendidikan kabupaten Kulon Progo, Sekolah Paska Sarjana UIN Sunan Kaligaja, Fakultas Teologi UKDW, Komisi Kataketik dan Komisi Pendidikan Keuskupan Agung Semarang, Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran, LKis, Interfidei, Pusham UII, Pusdema USD, Sekolah Tumbuh, CRCS UGM, ICRS UGM, Pusat Studi Pancasila UGM, Pusat Studi dan Pengembangan Perdamaian UKDW, Gerakan Sekolah Menyenangkan, perwakilan dari SMPN 4 Ngaglik, SMPN 1 Yogyakarta, SMA 6 Yogyakarta, SMA BOPKRI 1, Srikandi Lintas Iman dan UKP-Pancasila.
peserta yang hadir dari Dewan Pendidikan Yogyakarta, Perguruan Taman Siswa, Dinas Pendidikan kabupaten Kulon Progo, Sekolah Paska Sarjana UIN Sunan Kaligaja, Fakultas Teologi UKDW, Komisi Kataketik dan Komisi Pendidikan Keuskupan Agung Semarang, Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran, LKis, Interfidei, Pusham UII, Pusdema USD, Sekolah Tumbuh, CRCS UGM, ICRS UGM, Pusat Studi Pancasila UGM, Pusat Studi dan Pengembangan Perdamaian UKDW, Gerakan Sekolah Menyenangkan, perwakilan dari SMPN 4 Ngaglik, SMPN 1 Yogyakarta, SMA 6 Yogyakarta, SMA BOPKRI 1, Srikandi Lintas Iman dan UKP-Pancasila.
Forum
menyepakati bahwa diperlukan pertemuan-pertemuan lanjutan untuk membahas
inisiatif ini hingga pada taraf aplikasi. Untuk itu akan diselenggarakan pertemuan berikut pada
awal April di Universitas Negeri Yogyakarta.
Komentar
Posting Komentar