Perkumpulan ini awalnya adalah hubungan persahabatan dari beberapa pendidik dari berbagai latar belakang agama, pemerhati dan pegiat bidang pendidikan lainnya yang pernah mengikuti lokakarya tentang pluralisame dalam pendidikan agama yang diselenggarakan oleh Institut DIAN/Interfidei pada 2004 dan 2005. Perkenalan antarpeserta yang berkembang menjadi persahabatan ini dilanjutkan dengan berkumpul tiap bulan membahas tema-tema yang dipilih di akhir pertemuan sebelumnya. Di antara generasi awal yang bertahan hingga komunitas melembaga menjadi perkumpulan adalah Ibu Anis Farikhatin, Rama HJ. Suhardiyanto, SJ, Pak Sartana, Pak Rustiadi, Ibu Anastasia Riatriasih, Pak Purwono Nugroho Adhi dan Listia. Namun seiring berbagai aktivitas dialog antariman yang berlangsung, beberapa mahasiswa, pendidik dan pegiat pendidikan ikut bergabung secara tidak tetap. Pada masa awal ini, tempat pertemuan bergiliran sesuai yang bersedia menjadi tuan rumah.
Tema-tema yang dibahas dalam pertemuan komunitas ini antara tahun 2005 hingga 2009 adalah tentang konteks sosial dalam masyarakat yang ada kalanya masih diwarnai oleh hubungan penuh kecurigaan antar kelompok dan pada pertemua-pertemuan ini klarifikasi-klarifikasi dilakukan. Pembahasan tentang teologi-teologi agama-agama yang eksklusif, bagaimana praktik pendidikan yang dilakukan oleh para guru dan tantangan-tantangan yang dihadapi, masalah-masalah remaja, tema politisasi agama yang adakalanya menyebabkan pembelahan dalam masyarakat. Tema terkait kehidupan remaja seperti kesehatan reproduksi dan bertukar gagasan tentang pendidikan agama yang dapat membuka wawasan yang beragam dan kesadaran saling menghormati. Pada masa awal tidak ada sistematika khusus, tema-tema yang diusulkan adalah sesuai usulan yang disepakati.
Pemahaman keagamaan yang ada pada komunitas umat beragama dalam masyarakat juga tercermin dalam materi-materi yang diajarkan dan bagaimana guru mengajarkan di sekolah. Anggota komunitas menyadari bahwa pendidikan agama sebagaimana digariskan dalam kurikulum bersifat eksklusif. Artinya hampir semua praktik pendidikan agama saat itu masih tertutup dari pembahasan tentang agama-agama yang berbeda. Kondisi ini menyebabkan prasangka yang ada dalam masyarakat sulit dijernihkan karena minimnya perjumpaan. Selain itu proses pembelajaran dijalankan dengan menempatkan guru sebagai pusat kegiatan dengan komunikasi searah yang sering menyebabkan peserta didik kurang tertarik dengan pelajaran agama. Karena itu para pegiat komunitas sering menggunakan forum ini untuk bertukar informasi tentang strategi dan metode pembelajaran.
Pertemuan-pertemuan sederhana tersebut ternyata telah menumbuhkan kesadaran perlunya pendidikan agama yang dialogis, yang secara langsung membahas tentang keragaman dan berbagai tantangannya di kelas. Saat itu juga dibahas model Pendidikan Komunikasi Iman, Pendidikan religiusitas dan bagaimana penerapan di kelas, yang mulai dipraktikan oleh sekolah-sekolah Katolik dan Protestan. Selain itu mulai ada upaya melakukan pembelajaran secara team teaching tentang budi pekerti yang dilakukan oleh dua guru agama berbeda dengan siswa yang dicampur sebagaimana pernah dilakukan di SMAN 1 Bantul. Pergumulan tentang model pendidikan agama yang dibutuhkan oleh masyarakat yang majemuk seperti Indonesia terus bergulir naik-turun.
Sebagai komunitas pernah mengalami kemandegan selama beberapa tahun, meski persahabatan personal tetap berlanjut. Hingga pada 2015, Listia sebagai salah satu pegiat komunitas diminta membantu Wiwin St Aminah sebagai konsultan program KAICIID (King Abdullah bin Abdul Aziz International Center for Interreligious and Intercultural Dialogue) di Indonesia bersama Yayah Khisbiyah direktur program CDCC (Center for Dialog and Cooperations Among Civilisations). Listia saat menjadi fasilitator lokakarya untuk program dengan tema Dialog Antaragama dalam Pendidikan, mengajak teman-teman komunitas, yakni Pak Purwono dan Pak Sartana untuk terlibat. Pada kesempatan ini istilah pendidikan interreligius yang ditemukan dalam forum-forum diskusi pertama kali digunakan untuk model pendidikan agama yang ditawarkan. Namun karena keterbatasan waktu, saat itu gagasan-gagasan pokok atau dasar-dasar pemikiran belum sempat dirumuskan dengan baik dan program KAICIID di Indonesia ini kemudian tutup tahun 2016.
Gagasan yang makin berkembang tentang model pendidikan interreligius itu memantik semangat menguatkan kembali komunitas yang telah lama bergumul dalam soal pendidikan agama ini. Untuk menjaga gagasan yang sudah terdokumentasi, meski masih banyak kekurangan di sana-sini, beberapa teman menyepakati lahirnya Paguyuban Penggerak Pendidikan Interreligius yang disingkat Pappirus. Para pegiat paguyuban sebagian besar adalah orang-orang yang telah lama berproses sejak tahun 2005, beberapa person yang terlibat dalam penulisan buku sempat memperkuat komunitas dalam beberapa waktu, namun karena berbagai kesibukan akhirnya tidak dapat aktif.
Meskipun sebagai paguyuban tidak memiliki struktur organisasi yang jelas, namun komunitas ini telah menyelenggarakan dua kali lokakarya untuk guru-guru dari berbagai latar belakang agama dalam kerjasama dengan dua lembaga, yaitu Kanwil Kemenag DIY membantu mengundang peserta para pendidik dari berbagai latar belakang agama dan mendapat dukungan fasilitas dari Komisi Pendidikan Keuskupan Agung Semarang berupa Wisma Sanjaya di Muntilan. Selain lokakarya, paguyuban juga menyelenggarakan seminar nasional dengan bekerja sama dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Universitas Kristen Duta Wacana yang menyelenggarakan tempat pertemuan.
Di antara pertemuan-pertemuan bulanan yang dilakukan mengarah pada upaya mematangkan konsep pendidikan interreligius. Dari dua kali mengadakan lokakarya, banyak masukan diberikan oleh para guru yang menjadi peserta. Sejak akhir 2017 hingga 2019 dibahas berbagai segi untuk mematangkan konsep pendidikan interreligius, termasuk bagaimana strategi insersi dalam pembelajaran formal. Sebagaimana diketahui bahwa model pendidikan ini tidak ada dalam nomenklatur pendidikakan agama sebagaimana termuat dalam sistem pendidikan nasional. Dalam berbagai diskusi akhirnya disepakati bahwa model pendidikan interreligius adalah model pendidikan yang memperkaya pendidikan agama konvensional yang umumnya berisi pembelajaran tentang pendidikan agama yang diberikan secara eksklusif dan minim dialog dengan kelompok-kelompok yang berbeda. Dalam penerapannya, pendidikan interreligius sangat tergantung pada konteks masing-masing sekolah. Sekolah negeri, swasta atau sekolah keagamaan memiliki pengelolaan waktu belajar yang tidak sama, sebagaimana konteks heterogenitas peserta didik.
Gagasan pendidikan interreligius makin dimatangkan dengan mendapat masukan dari pakar seperti Ibu Tabita Kartika Khristiani, Ph.D, Prof. Amin Abdullah dan diskusi yang sangat intens dari para pegiat dengan harapan gagasan lebih siap ditawarkan pada publik. Pada Mei 2019 gagasan pendidikan ini dibukukan sebagai pengayaan pendidikan agama dan budi pekerti untuk SMA dan sederajat dengan judul “Pendidikan Agama Berwawasan Pancasila, Menjadi Manusia Indonesia yang Beradab”. Sebelumya Dalam rangka memiliki badan hukum untuk penerbitan buku dan kelayakan memberikan sertifikat pelatihan, para pegiat paguyuban mengupayakan legalisasi lembaga. Dalam proses legalisasi ini, nama ‘Paguyuban’ berubah menjadi ‘Perkumpulan’, yaitu Perkumpulan Pengembang Pendidikan Interreligius’.
Setelah resmi berbadan hukum, Perkumpulan menyelenggarakan Rapat Umum Anggota yang pertama pada 2 Maret 2019, untuk memilih pengurus baru, Anggota Dewan Pengawas dan menetapkan program kerja. Pengurus periode pertama hasil keputusan Rapat Umum Anggota pertama adalah sebagai berikut : Koordinator Listia dan Rama Suhardiyanto, SJ. Sekretaris Laili Nur Anisah dan Julius Wantara. Bendahara Sartana dan Silvia Kusuma Mentari. Bidang Pendidikan dan Pelatihan dikoordinir oleh Anis Farikhatin dan Purwono Nugroho Adi. Bidang Penelitian dikoordinir oleh Kristina Antariningsih dan Sr. Yuliana Sri Purbiyati, OP. Bidang Hubungan Kemasyarakatan Rustiadi dan Ahmad Shalahuddin. Adapun Dewan Pengawas periode pertama terdiri atas Dr. Tabita Kartika Kristiani, Dr. Suhadi dan Dr. Lukas Ispandriarno.
1
Februari 2020 diselenggarakan Rapat Umum
Anggota perkumpulan di hotel Musium Batik. Dari RUA saat itu terpilih kepengurusan
baru 2020-2021 terbentuk melalui pemilihan dalam RUA tahun tersebut. Dalam RUA
tahun 2020 terpilih Koordinator Perkumpulan adalah Listia dan Anis Farikhatin.
Sekreatris Laili Nur Anisah. Bendahara Bapak Sartana. Bidang Pendidikan,
Pelatihan dan Hubungan Masyarakat
Rustiadi, Edy Safitri, Octavianus Jeffry, Ahmad Shalahuddin. Bidang Media Purwono Nugraha Adhi, Wiwin Siti
Aminah. Bidang Penelitian Kristina Antariningsih dan Theofani Yusliyanti.
Pengawas Perkumpulan terdiri atas Ibu Tabita Kartika Chistiani, Bapak Ahmad
Saifudin dan Ibu Sri Wahyaningsih.
Satu tahun pandemi dengan upaya yang tidak terlalu mudah untuk menawarkan model pendidikan PIR (Pendidikan Inter-Religius), namun demi ketertiban dan kemantapan dalam berorganisasi, maka pada 25 April 2021 diselenggarakan Rapat Umum Anggota secara Daring. Mengingat berbagai keterbatasan karena pandemi, RUA kali ini hanya mendengarkan laporan pertanggungjawaban pengurus dan tanggapan peserta, serta pemilihan pengurus baru. Rapat Umum Anggota yang dipimpin Purwono Nugroho Adhi menyepakati mempertahankan pengurus lama dengan perubahan struktur dan tambahan personalia. Untuk pengawas masih tetap dijabat oleh Pak Ahmad Saifudin, Ibu Tabita Kartika Khristiani dan Ibu Sri Wahyaningsih.
Komentar
Posting Komentar