Langsung ke konten utama

Webinar Moderasi Beragama

 


Menindaklanjuti MoU kejasama Perkumpulan Pappirus dengan Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Indonesia tahun 2019, pada 11 Desember 2020 diselenggarakan webinar nasional dengan tema ‘Realiasasi Moderasi Beragama di Ranah Pendidikan Menengah dan Tinggi abad 21’.



Seminar diikuti oleh para mahasiswa, para pendidik, pegiat perdamaian dan masyarakat umum, dengan narasumber Supriyanto Abdi, dosen Program Studi PAI UII, Alexander Hendra Dwi Asmara, Ph. D, dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Agama Katolik USD,  Tabita Kartika Christiani, Ph.D dan Anis Farikhatin, M.Pd pendidik dan pegiat Perkumpulan Pappirus dengan moderator Herlina Ratu Kenya, MAPT, pendeta gereja Kristen Sumba Timur.

Dalam sambutan mewakili Perkumpulan Pappirus, Listia menyampaikan pentingnya terus melakukan pembelajaran dalam mengelola keragaman. Pendidikan agama perlu merespons perubahan dan situasi kemanusiaan yang ada, khususnya bagaimana menyelenggarakan pendidikan agama yang mengembangkan toleransi dan kesanggupan bekerjasama, agar agama dapat menjadi rahmat bagi kehidupan.

Sambutan kedua oleh Bapak Muhammad Roy Purwanto Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan FAI UII yang menyampaikan bahwa moderasi beragama sangat penting. Kecenderungan kita di Indonesia belakangan terakhir, ekslusivisme dan radikalisme agama meningkat. Menurutnya bila Moderasi Beragama dan dalam konteks masyarakat Islam, yang biasa disebut washatiyatul Islam tidak di kembangkan, maka 5-10 tahun ke depan lulusan S1 ekslusivismenya akan tinggi. Hal ini tidak boleh terjadi.

Pada acara inti seminar, narasumber pertama Anis Farikhatin, M.Pd berpendapat, di ruang sekolah sama dengan yang disampaikan oleh Wakil Dekan tadi. Menurut Anis banyak guru yang kurang sadar dan mengembangkan pikiran ekslusif yang akhirnya dapat memicu sikap diskriminatif. Untuk itu moderasi beragama sangat penting yaitu moderasi cara pandang, menghasilkan nilai-nilai yang harus dikembangkan. Proses internasilisasi bukan hanya membuat guru waspada akan apa yang diucapkan, tapi bagaimana sikap dan perilakunya. Harus dihadirkan sosok guru agama yang moderat, sosok guru moderat yang memiliki karakter: punya komitmen kebangsaan, toleransi aktif, antikekerasan dan akomodatif terhadap budaya.

Sebagai guru, komitmen kebangsaan dijabarkan ke dalam nilai-nilai, oleh guru dijabarkan ke dalam kompetensi di sesi-sesi pelajarannya. Ini tidak mudah. Selama ini baru gaungnya, belum ada petunjuk operasional. Di sinilah Pappirus bersama-sama untuk menerjemahkan ini melalui buku pendidikan interreligius yang mencoba mempertemukan subtansi ajaran agama-agama. Dalam pelaksanaannya ada tantangan birokrasi namun ada juga peluang melalui Permendikbud NO. 20 thn 2018 dan Kebijakan Menteri merdeka belajar yang memberi keleluasaan guru untuk mengembangkan kreativitas, termasuk dalam hal ini insersi semacam model pendidikan interreligius ini.

Narasumber kedua Rama Alexander Hendra Dwi Asmara, SJ. Ph. D menyampaikan  tema Peluang dan Tantangan Matakuliah Pendidikan Agama di PT (pendekatan studi kurikulum). Menurut Rama Hendra, di tingkat  PT, perlu ditumbuhkan kesadaran konteks masyarakat plural, tanggap terhadap tantangan zaman yang terus berubah. PA perlu memberikan pembelajaran kritis. Untuk ini Rama Hendra telah melakukan penelitian di Keuskupan Agung Semarang (KAS) dan di DIY, UNIKA Soegijapranata Semarang dan UAJY dan USD.

Pendidikan agama di perguruan tinggi tidak berorientasi pada satu agama, namun merupakan refleksi kritis pada agama-agama, berupaya menjawab isu yang berkembang. Kedua, visi itu didasari oleh ideologi atau spiritualitas atau nilai dasar. Dasar spiritualitasnya adalah sebagaimana diungkapkan Mgr. Soegijapranata yang dikenal dalam motto 100% nasionalis, 100% Bertakwa, 100% Katolik, 100% Indonesia.

Spiritualitas pendidikan Katolik yang berprinsip transformasi sosial, yaitu mendidik manusia secara utuh, hati, pikiran dan tindakan. Mendidik untuk berani menjadi manusia merdeka yang tidak gampang diarahkan tindakan radikal namun juga berpikir kritis.

Menurut Rama Hendra, Pendidikan Interreligius, menekankan pada wawasan beragama (Religious Literacy/RL) sebagai titik pijak bagi hidup beriman yang kritis dan tebuka. Tanpa RL, membuat kita tidak peka terhadap agama lain yang dapat memicu konflik. Pengetahuan umum tentang agama harus dimiliki. Religious Quest, menekankan pencarian agama, menekankan pada peran agama dalam menjawab tantangan eksistensial individu dan sosial (Religious Reflexivity). Proses Belajar Mengajar (PBM) dari 3 Universitas tadi, 1. Pengalaman individu/sosial, 2. Refleksi, 3. Aksi. Dalam refleksi untuk melihat lebih dalam lalu beraksi.

Narasumber Supriyanto Abdi menyoroti konteks membangun moderasi beragama Dalam PT Islam, yang menurutnya setidaknya harus mengemban sebuah desain pembelajaran yang mengembangkan dan menguatkan multi literasi. Empat diantara: 1. mengembangkan literasi beragama dengan memperluas hazanah atau diskursus misalnya degan mengajak mahasiswa untuk bertemu dengan umat agama-agama lain dalam dunia akademis. Melalui kegiatan ini diharapkan dapat menghasilkan budaya apresiatif. 2. Literasi kemanusiaan: penting untuk dikembangkan aspek kemanusiaan pengembangan wawasan moderasi beragama dalam pendidikan di PT termasuk HAM yang berbasis pada martabat manusia, kesetaraan dan tanpa diskriminasi. 3. Literasi kebangsaan; perkuliahan agama harus juga berfungsi mengembangkan komitmen kebangsaan yang beragam. 4. Literasi digital; mengembangkan kemampuan menyerap, menyaring berita, termasuk tafsir dan lain sebagainya.

Semenyara Ibu Pdt. Tabita Kartika Khristiani, Ph.D dalam pemaparannya menyampaikan tentang adanya transformasi pendidikan agama yang inklusif-moderat pada jenjang Pendidikan SLTA dan PT dari segi teoritis, tidak dari praktis. Kemajemukan dan keragaman secara natural ada. Beliau menyampaikan ada beberapa bentuk pendidikan agama: Monoreligious Religious Education, Multireligious Religious Education, Interreligious Religious Education.

Umumnya di Indonesia masih monoreligious. Dari mono ada upaya untuk multi atau bahkan interreligus. Dalam pendidikan interreligius, maka pembelajaran yang diselenggarakan adalah berdialog. Banyak tantangan untuk mendorong dari mono ke interreligius. Tantangan monoreligous, siswa homogen dan kurang pengalaman pluralitas. Guru kurang memiliki kesadaran pluralitas.

Penelitian terbaru, Dinamika PA dalam masyarakat multikulur di Jogja, negeri maupun swasta, ada Islam, Kristen dan Katolik. Dalam penelitian ini kekurangannya tidak ada Hindu, Buddha atau Konghucu. Apakah yang ditekankan di sekolah-sekolah negeri itu dogma, etika atau identitas? Ternyata yang paling kuat dibahas pendidikan agama adalah etika. Sedikit sekali unsur dogma. Di swasta itu cenderung homogen. Masih ada unsur dogmatis, meski tidak kuat. Mereka menekankan etika sebagaimana di sekolah-sekolah negeri.

Peserta sangat antusias mengajukan pertanyaan dan pendapat. Di antara pertanyaan-pertanyaan yang muncul antara lain tentang bagaimana menyikapi  guru-guru yang memiliki pandangan tidak moderat, tentang dosen pengajar dari agama yang berbeda dalam pendidikan religiusitas yang belum terpenuhi, tentang disabilitas dalam pendidikan agama, formalisme keagamaan dalam pewajiban berjilbab bagi siswa dan pendidikan Islam yang kadang berdampak pada yang bukan Islam, tentang ekosistem atau kultur sekolah dsb. 

(Ahmad Shalahuddin).


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tantangan Baru Pendidikan Toleransi di Indonesia

  Pandemi telah mengubah cara kerja masyarakat seluruh dunia. Semua pihak harus dapat beradaptasi dengan situasi penuh resiko ini agar tetap sehat dan semua aktivitas kehidupan dapat dilanjutkan. Demikian halnya dalam berbagai aktivitas pendidikan, selain harus mencari strategi yang aman dan efektif, juga harus tetap kreatif sehingga proses belajar mengajar berlangsung tanpa beban dan berdampak mencerdaskan.     Adaptasi Perkumpulan Pappirus terus mengupayakan pengembangan pendidikan keagamaan yang menumbuhkan kultur belajar yang memungkinkan tumbuhnya kesadaran menerima keragaman sebagai kodrat manusiawi dan mengajak para pendidik agar dapat membantu peserta didik mengembangkan sikap toleran serta mampu bekerjasama dengan orang yang berbeda latar belakang. Adaptasi dalam mengelola perkumpulan antara lain dengan migrasi kegiatan secara daring atau gabungan daring dan luring, sebagaimana dilakukan dalam Rapat Umum Anggota Perkumpulan ke-3, 25 April 2021 dan pertemuan Pengurus Periode ba

PENTINGNYA PERUBAHAN PARADIGMA UNTUK MERAWAT RUH PENDIDIKAN

    Catatan Moderator Seri 01 Program ‘NGOPII Yoo’ atau ‘Ngobrol Pendidikan Interreligius-Indoneisa dari Yogyakarta’, adalah perbincangan untuk masyarakat umum secara daring, yang diselenggarakan atas kerjasama Perkumpulan Pappirus, Rumah Kearifan, Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Sanggar Anak Alam, setiap hari Rabu malam. Seri pertama Ngopii yoo pada Rabu, 11 Agustus 2021 mengangkat tema ‘Pendidikan yang Memerdekakan’. Banyak pemikiran berharga dalam perbincangan ini. Untuk itu moderator akan menyarikan gagasan-gagasan menarik di dalamnya untuk diunggah di laman pappirusindonesia.org                    Kehidupan bermasyarakat mengalami perubahan sangat cepat, dampak dari perkembangan teknoliogi digital pada berbagai proses kehidupanbaik dalam pengorganisasian, komunikasi maupun proses produksi barang dan jasa. Bukan hanya pada level permukaan, perubahan juga terjadi dalam penghayatan nilai-nilai. Menyambut ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke 76, sebagai bentuk ra

Ziarah Peradaban Nusantara

                      Menurut sebagian orang ‘sejarah ditulis oleh para pemenang’, yaitu menggunakan cara pandang mereka yang secara politik dapat menuliskan ingatan tentang apa yang penting dan menanggalkan apa yang tidak penting menurut penulis. Namun sejarah tidak sekedar apa yang ditulis. Ada banyak situs, yaitu keberadaannya dalam ruang hidup manusia dari masa ke masa menyajikan keterhubungan banyak informasi yang seringkali luput dari apa yang telah ditulis. Situs-situs juga dapat menjadi pintu masuk mengantar pada imajinasi dan pemahaman cara hidup manusia dalam mengelola masyarakat kala itu. Situs menjadi sumber pengetahuan dan inspirasi.                           (Arca Garuda Wisnukencana di Musium Trowulan Mojokerto)             Minat pada sejarah di kalangan masyarakat Indonesia masih sangat rendah, dalam pengertian sejarah tidak dianggap sebagai sumber belajar, yang tidak sekedar menjadi memori yang menguatkan posisi para pelaku sejarah, melainkan sebagai inspirasi dalam