Catatan Moderator Seri 01
Program ‘NGOPII Yoo’ atau ‘Ngobrol Pendidikan
Interreligius-Indoneisa dari Yogyakarta’, adalah perbincangan untuk masyarakat
umum secara daring, yang diselenggarakan atas kerjasama Perkumpulan Pappirus,
Rumah Kearifan, Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Sanggar Anak Alam, setiap hari
Rabu malam. Seri pertama Ngopii yoo pada Rabu, 11 Agustus 2021 mengangkat tema
‘Pendidikan yang Memerdekakan’. Banyak pemikiran berharga dalam perbincangan
ini. Untuk itu moderator akan menyarikan gagasan-gagasan menarik di dalamnya
untuk diunggah di laman pappirusindonesia.org
Kehidupan
bermasyarakat mengalami perubahan sangat cepat, dampak dari perkembangan
teknoliogi digital pada berbagai proses kehidupanbaik dalam pengorganisasian,
komunikasi maupun proses produksi barang dan jasa. Bukan hanya pada level
permukaan, perubahan juga terjadi dalam penghayatan nilai-nilai.
Menyambut
ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke 76, sebagai bentuk rasa sukur,
kegiatan bersama antarlembaga ini menjadi bentuk turut andil memikirkan upaya memperbaharui
praktik pendidikan bagi generasi muda, agar tangguh dalam memperjuangakan
kehidupan bersama di tengah berbagai tantangan.
Pada Ngopi Yo seri 01 hadir
narasumber Dr. Muqowim M.Ag fasilitator living
values UNESCO, pendiri Rumah Kearifan dan Ibu Sri Wahyaningsih, pendiri Sanggar Anak
Alam di Nitiprayan Yogyakarta. Pada kesempatan ini, Listia sebagai moderator mengajukan
pertanyaan tentang bagaimana pandangan para narasumber tentang praktik
pendidikan di tengah perubahan sosial dan pandemi saat ini.
Pak Muqowim berpandangan, para pengelola pendidikan terlalu fokus pada
wilayah hilir dari sistem pendidikan. Misalnya pada kurikulum, administras, sertifikasi,
profil guru, gedung dan hal-hal teknis lain, bukan pada substansi atau ruh dari
pendidikan, sehingga ketika dihadapkan
situasi disrupsi banyak yang kebingungan. Menurut dosen fakultas Tarbiyah dan
Ilmu Keguruan UIN Sunan Kalijaga ini, ‘ganti menteri ganti kurikulum’ mestinya
tidak membingungkan bila ruh pendidikan terawat. Tapi bila substansi atau ruh
pendidikan tidak dipegang, perubahan akan menimbulkan kesulitan. Andai yang menjadi
fokus perhatian adalah wilayah hulu, yaitu substansi atau ruh pendidikan,
berupa proses transformasi, optimalisasi potensi diri peserta didik, maka
disrupsi dan semua perubahan teknis menjadi hal yang mudah diadaptasi.
Situasi pandemi,
di mana semua orang harus taat protokol kesehatan demi keselamatan bersama,
secara tidak langsung membawa hikmah, yang mana penyelenggaraan pendidikan didorong kembali pada ruh
pendidikan. Proses pendidikan harus dikembalikan sebagai proses transformasi
diri peserta didik dan upaya optimalisasi potensi diri, sehingga dapat menumbuhkan
nilai kedamaian, cinta kasih, kebahagiaan, berdaya dan ketulusan. Ini semua
dilakukan dalam keluarga, terutama karena menumbuhkan kesadaran nilai itu
sangat efektif pada delapan tahun pertama usia manusia. Ketika pendidikan
dikembalikan keluarga, maka pembenahan itu tidak cukup hanya dilakukan di
lembaga formal yang hanya berkutat di wilayah hilir. Namun ketika keluarga juga
tidak memahami atau kurang merawat ruh pendidikan, problem pendidikan menjadi
lingkaran setan yang sulit diurai.
Ibu Wahya melihat berbagai kesulitan dalam
praktik pendidikan saat ini terjadi karena pemaknaan pendidikan yang bergeser dan
dipersempit hanya pada urusan persekolahan. Tentu pendidikan lebih dalam dan
lebih luas dari sekedar urusan persekolahan. Tujuannya adalah memanusiakan
manusia. Pendidikan tidak boleh hanya mengasah intelektual, tetapi seluruh potensi manusia harus dikembangkan
secara utuh, dengan penuh kesadaran bahwa manusia tidak hanya otak tapi juga
hati. Dengan mengutip pandangan Ki Hadjar Dewantara, Bu Wahya mengingatkan
bahwa kepandaian dan kecerdasan baru merupakan sarana. Arah proses pendidikan adalah
agar peserta didik kelak dapat memberikan kemanfaatan, kemaslahan bagi orang
banyak, bukan untuk diri pribadi tapi untuk kehidupan bersama.
Bu Wahya
menyampaikan konsep merdeka belajar dari Ki Hadjar Dewantara yang terdiri atas
3 pokok; pertama tidak terperintah, kedua berdiri di atas kaki sendiri, ketiga
cakap mengatur dirinya sendiri. Proses belajar seharusnya dimulai dengan
kemauan dari dalam diri siswa. Dengan persekolahan yang serba mengatur dan menyeragamkan,
kondisi ini kurang menghargai talenta masing-masing anak yang beragam. Dalam
sistem persekolahan saat ini penyeragaman ada dalam materi, cara belajar dan
cara berfikir yang ditanaman pada peserta didik. Penyeragaman menyebabkan anak
tidak mengenali potensi dirinya, bahkan banyak potensi menjadi tidak muncul. Padahal
pendidikan harusnya memunculkan potensi, mendorong anak mampu menyadari diri
dalam hubungan dengan lingkungan alam,
guru dan orang tua. Bagaimana menjadi merdeka bila semua diatur dan
diseragamkan.
Pandemi
mengingatkan kita bahwa pusat pengetahuan bukan hanya di sekolah, tapi pada
diri, semesta, keluarga. Situasi ini mengembalikan rumah menjadi pusat
pengetahuan, rumah sebagai ruang kasing sayang. Namun sering terjadi, di rumah
orang tua tidak memberi kepercayaan pada anak. Banyak orangtua yang selalu
mengarahkan, anak dianggap belum paham dan tidak dapat memilih. Banyak orang
tua yang tidak memberi kepercayaan bahwa Tuhan telah memberi potensi pada semua
mahluk yang akan tumbuh dan berkembang, terutama pada anak. Orang tua tidak
berhak merasa lebih tahu tentang masa depan sehingga serba mengatur tanpa
memberi kesempatan anak untuk berpendapat dan memilih. Maka perlu diperhatikan
bahwa kunci pendidikan, yaitu ‘di mana ada hati, di situ ada proses belajar’.
Dengan memberi hati anak dapat menemukan prinsip hidup dalam berelasi dengan sesama
ciptaan. Orang tua perlu introspesi tentang bagaimana perannya.
Moderator bertanya pada Pak Muqowim,
bagaimana realisasi pendidikan yang menyentuh hati dalam praktik pendidkan kita yang penuh aturan dan berlangsung bagai ritual formal
tanpa kesadaran. Dalam hal ini Para
Pendiri Bangsa dalam lagu Indonesia Raya mengingatkan ‘..bangunlah jiwanya...’ terlebih
dahulu, baru aspek formal atau yang bersifat lahiriah. Mengapa hal ini sulit
direalisasikan ?
Menanggapi
hal ini Pak Muqowim berpendapat, yang penting dikedepankan seharusnya adalah ‘kesadaran
Jiwa, buka kesadaran tubuh atau materi’, karena Inti pendidikan adalah
pendidikan hati dan dari hati. Pendidikan harus menyentuh atau touching, bukan sekedar mengajar atau teaching. Apalagi dengan kelas kejar tayang, meski
materi selesai dibahas tetapi bila belum dapat menyentuh hati peserta didik,
pendidikan ini belum mencapai inti, belum mengarah pada tarnsformasi diri.
Padahal soft skill sangat dibutuhkan untuk proses hidup jangka panjang,
misalnya soffskill kemauan dan kesungguhan untuk belajar. Dengan memiliki kemauan
belajar, materi akan mudah di kuasai, apalagi saat ini banyak sekali sumber
belajar yang mudah di dapat melalui gawai. Bila yang dikejar adalah konten, pencapaian
apa pun yang didapat, peserta didik selalu tertingggal, karena ilmu pengetahuan
terus berkembang dan kehidupan terus berubah. Konten atau materi pelajaran
mudah diselesaikan oleh teknologi, tapi tanpa softskill, peserta didik akan sulit berdaptasi dan menumbuhkan daya
kratifnya.
Tentang
pendidikan yang menyentuh hati, Bu Wahya menceritakan praktik metode pembelajaran
berbasis riset di Salam. Menurut Bu Wahya, melalui metode riset, Salam memberi
kesempatan pada peserta didik untuk memilih sendiri tema pembelajarannya.
Dengan melibatkan partisipasi orang tua dalam pembelajaran, Salam menunjukkan
sikap tidak mengambil hak asuh anak dari orang tua. Salam mempunyai bagiannya dalam proses
pendidikan, namun keluarga juga tetap punya porsinya sendiri. Kemudian
bersama-sama menyepakati kurikulum yang akan dijalani. Jadi kurikulum di Salam sangat
custom. Karena itu jumlah peserta
didik di Salam sangat dibatasi.
Salam memposisikan
diri sebagai fasilitator –yang di lingkungan Tamansiswa disebut Pamong, dan di
sini fungsinya sama-- yang bersama peserta didik dan orang tuanya menyepakati
kurikulum berdasarkan apa yang menjadi minat belajar anak. Dilengkapi dengan
semboyan among ‘tutwuri handayani’, yang bermakna ‘dari belakang menguatkan’, menjadikan
anak sebagai subyek. Anak dengan potensi yang dimilikinya adalah juga ‘maha
guru bagi dirinya’. Dengan memberikan kepercayaan pada anak untuk memilih
sendiri tema yang akan menjadi fokus risetnya, secara tidak langsung prosesn menumbuhkan
rasa percaya diri anak. Ini tidak lain adalah praktik merdeka belajar yang
memberi kemerdekaan pada peserta didik untuk tumbuh dan berkembang sesuai
potensi alamiahnya.
Dalam
psikologi Ki Ageng Suryamentaram, dengan jiwa merdeka akan mengantarkan kita
menemukan jawaban atas pertanyaan eksistensial atas kondisi kehidupan kita.
Misalnya mengapa aku begini, mengapa situasi hidup bersama seperti ini,
Indonesia kaya mengapa banyak orang miskin, Indonesia negara agraris
mengapa banyak impor pangan? Jiwa
merdeka ini menuntun pada perenungan sehingga ada pencarian jawaban terus
menerus tentang apa penyebab masalah dan bagaimana cara mengatasinya. Dengan riset
anak menyalurkan rasa ingin tahu,
menuntun pada eksplorasi dan eksperimen, sehingga menemukan pengetahuan, menjawab
rasa ingin tahunya sendiri. Di sini anak menemukan pengetahuan, bukan diberi
tahu. Dalam istilah jawa, pengetahuan secara sungguh-sungguh tahu atau ‘weruh atau ngaweruhi’, ini beda sekali dengan pengetahuan yang diberi dari
orang lain.
Pak Muqowim
menambahkan, kebiasaan pendidikan yang ‘memberi tahu’ atau transfer pengetahuan
adalah kebiasaan belajar yang sudah tidak relevan dengan situasi jaman.
Kebiasaan ini mengandaikan anak tidak punya potensi atau seperti bejana kosong.
Padahal anak sudah dibekali Tuhan dengan berbagai potensi yang melekat di
dalam. Kewajiban orang tua dan para pendidik adalah menumbuhkan potensi pada
anak itu. Kebiasaan memberi tahu membuat anak atau peserta didik menjadi
tergantung secara intelektual dan tidak mandiri dalam bersikap. Dalam
praktiknya, pendidikan yang memerdekakan membutuhkan sinergi orang tua, lembaga
pendidikan dan komunitas. Oleh karena itu, orang tua maupun para pendidik harus
mengubah cara berfikir tentang anak dan mau belajar memahami serta mewujudkan hakikat
pendidikan.
Ada beberapa
peserta yang memberi tanggapan dalam obrolan seri 01 ini. Bu Kristina dan Pak
Sunarno dari Kediri menyampaikan, banyaknya keluarga yang seperti lepas tangan pada
sekolah untuk urusan pendidikan anak. Pertanyaannya bagaimana menumbuhkan
sinergi tiga pihak; keluarga, lembaga pendidikan dan komunitas sekitar peserta
didik, bila keluarga bersikap pasif.
Menanggapi
pertanyaan ini Ibu Wahya menekankan perlunya lembaga pendidikan dan orang tua
berdialog tentang peran masing-masing dan membangun saling memahami bahwa pusat-pusat
pengetahuan itu selain di lembaga pendidikan juga di rumah. Karena sistem persekolahan telah mereduksi
pengertian masyarakat umum tentang makna pendidikan, banyak orangtua yang
menjadi tidak percaya diri mendidik anaknya. Selain itu ada nilai-nilai yang
bergeser menyebabkan banyak orang tua lebih mementingkan pemenuhan kebutuhan
ekonomi dan karir sehingga tidak ada waktu untuk anak. Situasi ini berbeda
sekali dengan jaman dulu dimana orang menghayati waktu tanpa tergesa-gesa meski
teknologi belum berkembang seperti sekarang. Dalam hal ini para orang tua perlu
menyadari bahwa yang mendapat amanah anak adalah mereka, bukan para guru atau
orang arang lain.
Terkait upaya
menumbuhkan peran orang tua, Bu Wahnya menambahkan di Salam juga dibuat
kurikulum untuk orang tua dengan berbagai aktifitas. Misalnya ada kunjungan
anak ke keluarga-keluarga untuk belajar tentang berbagai profesi. Para orang tua secara bergantian menjadi
fasilitator untuk mengambangkan pengetahuan anak tentang bermacam-macam profesi.
Ada yang jadi bakul jamu, pemandu wisata
dan sebaganya. Para orang tua di Salam juga memiliki aktifitas bersama dalam
kegiatan pasar yang diselenggaraka secara berkala.
Pak Agus Sudono
sebagai penanggap kedua menyoroti para guru yang sangat sulit untuk mengubah mindset atau cara berfikir tentang
proses pembelajaran. Meski kurikulum tahun 2013 sudah mengarahkan para pendidik
untuk beranjak pada proses pebelajaran yang tidak lagi transfer pengetahuan,
para guru tidak juga mengubah kebiasaan karena
pengandaian bahwa peserta didik layaknya bejana kosong ini. Senada dengan
Pak Agus, Pak Sunarno juga menghadapai guru-guru muda lulusan perguruan tinggi
dengan mindset yang menjadi
keprihatinannya ini. Artinya dari
perguruan tinggi yang mendidik calon guru juga perlu ada perubahan.
Pak Muqowim
menegaskan bahwa kurikulum tahun 2013 berupaya mengajak peserta didik belajar dari
pengalaman langsung. Dalam kurikulum ini, peserta didik diminta untuk mengkonstruksi
pengetahuan yang ada disekitarnya, dengan cara mengamati, menanya, menganalisa,
merumuskan dan mengkomunikasikan dengan bahasanya sendiri. Dengan
mengkonstruksi sendiri pengetahuannya akan masuk dalam longterm memory , menumbuhkan rasa ingin tahu lebih lanjut yang disitulah
pengetahuan dan nilai-nilai yang dihayati para peserta didik makin berkembang.
Untuk dapat mempraktikan hal ini, guru perlu mengubah kebiasaan. Pengalaman Salam
menerapkan para praktik pembelajaran bukan dari definisi, tapi mengajak mengalami
langsung, yang membuat anak merasa ini ‘gue banget’, belajar sesuai minat dan
menemukan yang dicari.
Karena
pendidikan bukan hanya tanggung jawab guru, ruh pendidikan juga ada dalam
keluarga. Untuk keterlibatan keluarga yang lebih baik, sebagaimana diharapkan,
guru perlu mengajak orang tua untuk melakukan refleksi bersama. Steven Covey mengatakan,
membaca tanpa refleksi seperti makan tanpa dicerna. Orangtua perlu menyadari, namun
sekolah juga perlu memberikan penyadaran tentang ruh pendidikan yang harus dirawat
dalam keluarga. Menurut Pak Muqowim, pelaku utama pendidikan tetaplah orang
tua, sekolah hanya membantu. Ketika orang tua menyerahkan anak sepenuhnya
padabaga pendidikan, ini memperlihatkan banyak orang tua ketika membangun rumah
tangga tidak dengan kesadaran bahwa ada tanggung jawab mendidik anak.
Mengubah
paradigma berfikir para guru dan orang tua perlu waktu. Pak Muqowim
berpandangan, kebiasaan lembaga pendidikan yang terlalu mementingkan hal-hal
administrasi telah melemahkan kebiasaan berefleksi. Dengan kurangnya refleksi,
menyebabkan kurang bisa mengembalikan proses pembelajaran pada ruh pendidikan.
Padahal bila mindset para guru dapat
berubah, 60 persen problem pendidikan dapat teratasi.
Bu Wahya
juga sependapat dalam hal ini, bahwa tidak mudah mengubah mindset atau paradigma. Guru dan orangtua perlu menyadari bahwa sekarang
telah berkembang teknologi yang berfungsi sebagai kecerdasan buatan. Bila belajar
hanya dengan cara hafalan, mesin google sudah jauh lebih pintar dari manusia, mestinya proses pembelajaran bukan lagi
tranfer pengetahuan. Sayangnya lembaga pendidikan calon guru juga belum berubah,
sehingga ketika mahasiswa lulus proses mengajarnya tidak berubah, tetap menjadi
petugas administrasi karena sertifikasi atau akreditasi sekolah. Ini sebenarnya
beban-beban yang tidak ada korelasi dengan perkembangan siswa.
Bu Wahya
meambahkan pendapatnya tentang pendidikan anak usia dini sebagai peletak dasar
proses pendidikan berikutnya. Belakangan ini banyak anak diajari calistung. Praktik
ini adalah salah besar dalam memahami proses tumbuh kembang anak. Usia anak
adalah usia bermain, dan yang dimaksud literasi pada usia ini bukan berupa calistung.
Yang dibutukan adalah kemampuan membaca makna, mengaktifkan penalaran dengan
cara dibacakan buku, didongengkan, dikenalkan. Belajar dari mendengarkan, memahami,
tahu, menceritakan kembali. Kebutuhan anak adalah bermain, sementara calistung membuat
otak anak terbebani.
Bu Ayu dari
Magelang menyoroti tidak bekerjanya teori-teori pendidikan yang dipelajari di
bangku kuliah. Di lapangan ada banyak hal yang membuat teori-teori tentang
pendidikan tidak berfungsi. Menangapi hal ini Pak Muqowim menjelaskan bahwa teori
sesungguhnya hanya ancer-ancer saja. Dalam filsafat Ilmu, menurut Thomas Kuhn, dalam konstruksi ilmu
pengetahuan selalu ada dinamika. Teori yang awalnya revolusioner, kemudian
menjadi hal yang biasa, dalam perkembangan seanjutnya teori mengalami anomali,
krisis, dan melahirkan teori baru. Praktik pendidikan tidak tidak perlu terjebak
dalam suatu teori.
Terkait
peran orang tua dan pentingnya mengedepankan ruh pendidikan, Bu Anis menayakan
pendapat para narasumber tentang boarding
school. Menanggapi hal ini, Bu Wahya menyampaikan bahwa Ki Hadjar Dewantara
pernah menyelenggarakan boardiang school
atau yang disebut pondokan, dengan
menjalankan fungsi pamongnya. Di sini pamong dapat menggantikan peran orang
tua. Namun jaman berkembang terus. Sekarang dengan makin banyak orang tua yang
teredukasi seharusnya bisa tetap menjalankan fungsi keluarga sebagai pusat
pengetahuan dan ruang tumbuh kembang. Tapi bagi orang tua yang sangat sibuk mungkin
boarding school dapat menjadi jalan
keluar, sepanjang prinsip momong ini
tetap ada.
Dalam hal
ini Pak Muqowim lebih menyoroti apa peran utama boarding school. Bila 24 jam hanya fokus pada perkembangan otak dan
urusan administrasi kependidikan, maka ini mungkin hanya semacam tempat
menitipkan anak bagi keluarga-keluarga yang sibuk. Fungsi dalam keluarga yang
tak tergantikan adalah ruang bagi kasih
sayang, merasa dipahami, dihargai dan bernilai. Dalam boarding school, satu orang pendidik menangani banyak anak. Apakah
fungsi momong ini dapat berjalan? Apakah
peran-peran keluarga ini dapat dijalankan oleh para pendidik dalam boarding school?.Hal ini penting untuk menjadi
bahan refleski, bahwa dalam lembaga tersebut ada plus minusnya, terutama ketika
dihadapkan pertanyaan apakah ruh pendidikannya tidak hilang.
Demikian
pula dengan konsep pendidikan terpadu. Menggambungkan pendidikan umum dan
agama, sesuatu yang biasa. Tapi jika tidak mencapai ruh pendidikan untuk manusia
sebagai mahluk multidimensi dan menjadi manusia yang utuh, atau hanya
pengembangkan sebagian kecerdasan atau potensi kemanusiaan saja, terutama
ketika banyak menggunakan metode hafalan, maka ruh pendidikan tidak terawat. Perlu
diperhatikan bahwa yang perlu diutamakan dalam pendidikan bukan jumlah waktu,
tapi kualitas dalam menggunakan waktu. Dengan penggunaan waktu yang
berkualitas, peserta didik dapat
diharapkan menjadi diri sendiri dan mengembangkan semua potensi yang
dimilikinya.
Dalam
konteks peran komunitas, Pak Sunarno dari sekolah Ramadhani Kediri tahun dan Bu
Sri Wartati dari sekolah Cerlang Pontianak memiliki pengalaman 10 Thun lebih mengelola
pendidikan, sama-sama harus mengambil jalan tengah antara idealisme lembaga dan
cara pikir yang berkembang dalam masyarakat. Menghadapi konteks masyarakat yang
berbeda harus direspons berbeda agar sinergi tetap dapat dijalankan. Misalnya banyak
orangtua terpengaruh dengan logika persekolahan yang masih menganggap
penyeragaman sebagai kebutuhan. Di sini edukasi dan belajar bersama perlu terus
dilakukan antara lembaga dan para orangtua.
Moderator
menutup obrolan dengan menggaris bawahi bahwa realisasi pendidikan yang
memerdekakan membutuhkan perubahan cara berfikir, baik tentang cara memandang
dan berelasi dengan anak, konsep diri para pendidik dan para penyelenggara
pendidikan yang harus mengutamakan substansi atau ruh pendidikan. Perbincangan
ini akan dilanjutkan pada Ngopi Yo seri ke -2 pada Rabu, 25 Agustus 2021.
______________________
BalasHapusKata Kunci pardigma pendidikan yang sangat relevan dengan analisa persoalan pendidikan