Ngobrol Pendidikan Interreligius dan Indonesia dari Yogyakarta edisi 13 mengangkat tema “Spiritualitas Agama-agama untuk Pemulihan Ekosistem Semesta”. Edisi ini menghadirkan narasumber pemantik Fadhil Ahmad Qomar, M.Sc staf ahli bidang Energi Baru Terbarukan DPR RI dan Suhadi Cholil, dosen Paskasarjana UIN Sunan Kalijaga. Ada beberapa catatan menarik yang diurai dalam catatan pendek di bawah ini.
_________________
Di sekitar di Yogyakarta, angin ribut
akhir-akhir ini makin sering sering terjadi. Di wilayah lain tempat-tempat yang tidak pernah terjadi
banjir sperti di Jerman atau Arab Saudi, gelontoran air dengan kekuatan besar
terjadi di kota dan pemukiman. Selain cuaca ekstrem, pergantian musim yang
tahun 80-90 masih dapat dibaca tanda-tandanya sehingga mempermudah nelayan mencari
ikan dan pertani menggarap usaha pertaniannya. Iklim sudah berubah dan makin
sulit diprediksi sehingga menyulitkan manusia untuk beradaptasi. Perubahan
iklim ini telah membawa banyak bencana dan penderitaan bagi sebagian orang.
Pengetahuan
tentang iklim dan cuaca sesungguhnya telah diajarkan di lembaga-lembaga
pendidikan. Dalam mata pelajaran terkait ilmu pengetahuan alam, para siswa
sudah mendapatkan informasi cukup tentang ekosistem atau lingkungan hidup
sebagai ruang pendukung kehidupan manusia sejak di jenjang sekolah dasar. Artinya
secara umum banyak orang memahami bahwa manusia berada dan tergantung pada
ekosistem yang harus dijaga. Namun yang sering terjadi, antara pengetahuan dan
kesadaran untuk mempraktikkan pengetahuan tidak selaras. Praktik hidup yang
tidak ramah lingkungan biasa muncul dalam kehidupan personal maupun oleh
industri skala multinasional. Sikap hidup konsumtif sebagai dampak
industrilalisasi modern, telah memberi dampak besar bagi kehidupan luas.
Emisi karbon di udara adalah faktor
dominan yang menyebabkan pemanasan global, dampak efek rumah kaca yang ditimbulkan,
lapisan karbon yang melayang-layang di atmosfer yang dapat bertahan hingga
ratisan tahun. Karbon terlepas ke udara oleh proses pembakaran untuk
mendapatkan energi dari bahan bakar fosil. Mendurut Fadhil, penggunaan bahan
bakar fosil sudah lama digunakan, tergolong murah bila dibanding dengan
teknologi penghasil energi baru terbarukan/ EBT . Sesungguhnya sumber energi
EBT melimpah di Indonesia, namun untuk menciptakan teknologi pemanfaatan ini
yang masih mahal, sehingga untuk kepentingan menghentikan laju kerusakan
ekosistem ini, perlu banyak penelitian dan rekayasa teknologi penunjang
sehingga membutuhkan banyak generasi muda yang kreatif untuk berinovasi.
Di tingkat personal, keluarga,
komunitas dan lembaga-lembaga pun sangat bermakna untuk mengupayakan
pengurangan emisi, misalnya dengan tidak melakukan pemborosan listrik rumah
tangga, mengurangi konsumsi barang dengan membuat tradisi daur ulang dan tidak
memakai barang sekali pakai, menggunakan barang-barang pembersih alami dan
pangan lokal. Inisiatif yang terkesan kecil ini bila dilakukan banyak kalangan
dapat memberi dampak juga perubahan pola konsumsi dan selanjutnya pada pelestarian
lingkungan. Persoalannya bagaimana menumbuhkan kesadaran untuk mempraktikkan
pengetahuan dan memperluas partisipasi untuk menghentikan laju kerusakan
ekosistem ini.
Suhadi menyampaikan, dari penelitian
yang pernah dilakukan, ia makin yakin bahwa adanya visi lingkungan hidup pada
sebuah lembaga akan sangat membantu lembaga tersebut untuk konsisten menjalankan
upaya pemeliharaaan lingkungan dari lingkup terdekat. Dengan adanya visi ini
program lembaga akan merujuk kesana, demikian pula para pendidik akan berupaya
merealisasikan program sesuai visi. Sayangnya umumnya lembaga masih sedikit
yang memiliki visi lingkungan hidup, lebih banyak yang abai. Bahkan menurut
Suhadi, program sekolah Adiwiyata pun lebih terkesan untuk lomba, bukan untuk
bagian untuk meningkatkan kesadaran dan praktik menjaga lingkungan.
Lebih lanjut menurut Suhadi, sikap
abai yang mudah ditemui dalam masyarakat ini, terkait dengan spiritulaitas
masyarakat. Semua upaya membutuhkan kedisiplinan dan yang dalam hal ini
membutuhkan spiritualitas. Krisis iklim ini menjadi pertanda krisis
spiritualitas. Krisis spiritualitas juga terkait dengan paradigma modern yang
masuk dalam ruang-ruang pendidikan yang menanamkan cara berfikir serba cepat, berorientasi
pada kepemilikan hal-hal besar dan menggeser kesadaran relasi dengan
lingkungan. Krisis yang ditimbulkan oleh proses produksi dan konsumsi adalah dampak cara pikir modernis.
Sriwahyaningsih sebagai penanggap
juga menegaskan, spiritualitas sangat terkait dengan hubungan dengan
lingkungan. Pada masa lalu ktika teknologi semaju saat ini, banyak orang dapat
melakukan lebih banyak hal, termasuk untuk mendampingi tumbuh kembang anak. Untuk
itu saat ini makin diperlukan sikap kritis, misalnya pandangan tentang kemajuan
seperti apa? Pada masa dulu banyak makanan sehat alami yang justru ditinggalkan
dan baru ketika mengamai sakit orang kembali pada makanan lokal yang sehat.
Soal pangan ini juga masalah politik. Sikap konsumtif jelas merusak bumi,
mengurangi konsumsi dan menggunakan bahan-bahan alami yang tidak perlu impor
adalah hal-hal yang dapat dilakukan untuk menghambat laju krisis lingkungan.
Meski dalam skala kecil namun bila yang melakukan banyak tentu akan memberi
dampak.
Fadhil menutup pembahasan ini dengan
menyatakan masalah lingkungan hidup memiliki banyak aspek yang membutuhkan
peran banyak pihak. Menurutnya semua ini membutuhkan transformasi kebijakan dan
butuh sosok pemimpin yang kuat yang memiliki kemauan politik terkait hal ini.
Di sini menurut Fadhil pendidikan sangat penting untuk memampukan generasi muda
memilih pemimpin yang tepat dan menyiapkan banyak generasi muda yang memiliki kemampuan dalam
ten
Suhadi menekankan, perlunya mengubah
paradigma dalam sekolah, belajar tidak harus berkiblat dari negara maju, dapat
juga kepada negara-negara yang standarnya bukan jemajuan tapi standar
kebahagiaan. Besikrap kritis atas standar-standar kemajuan modernis, tapi
kehilangan banyak hal dalam hal-hal relasi dengan sesama manusia maupun dengan
alam. Mendenisikan capaian tidak harus meniru dari negara-negara yang selama
ini dianggap maju, tetapi perlu imajinasi yang berbeda, ditentukan sesuai
koteks lokal. Untuk itu semua memulai dari lingkup terdekat, termasuk untuk
lembaga-lembaga pendidikan ( Listia)
Komentar
Posting Komentar