Gaya hidup konsumtif telah memberi dampak nyata pada perusakan ekologi. Namun tidak mudah untuk mengupayakan perubahan mengingat luasnya ruang lingkup yang terkait masalah ini. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan penyadaran dalam praktik pendidikan, untuk mengembangkan kepribadian non konsumtif. Bila masyarakat memiliki pengendalian diri untuk tidak konstif maka hal ini akan menekan produksi barang, yang artinya mengurangi proses eksploitasi bahan serta mengurangi residu sisa pembakaran bahan bakar fosil yang dihasilkan selama proses produksi dan distribusi barang. Namun bagaimana kita memahami gaya hidup konsumtif ini, mengapa kecenderungan ini sangat masif serta bagaimana melakukan penyadaran untuk mengembangkan keperibadian non konsumtif?
Ngopi Yo
edisi ke-15, Rabu tanggal pada 2 Maret 2022 ini membahas tema “Mengembangkan Kepribadian
non Konsumtif bagi pemulihan Ekologi”, menghadirkan narasumber Sr. Nurwaningsih
SDP, Pendidik di SMP Kebon Dalem Tembalang Semarang, Ibu Chandra Kirana dari Yayasan Sekar Kawung, Komunitas Pamong Benih Warisan dan Bapak Achmad Charris Zubeir, Ketua Departemen Kebudayaan Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia. Beberapa pokok gagasan diuraikan dalam catatan di bawah ini.
___________
Suster Nurwaningsih, SDP mengawali pemaparan
dengan membagikan pengalamannya sebagai biarawati yang menjalani janji hidup
bersahaja, dengan pakaian dan barang-barang pribadi yang terbatasi, serta
fasiitas hidup yang dimiliki bersama oleh komunitas. Kebahagiaan yang diperoleh
dalam menjalani hidup bersahaja yang dirasakan adalah menemukan kesadaran yang tidak
berfokus pada diri sendiri, melainkan terbuka ke luar, sehingga dorongan untuk memiliki banyak barang
terkendali, tumbuh spirit untuk merawat dan semakin mampu senantiasa tunduk
pada Tuhan. Suster Nur menemukan bahwa laku hidup bersahaja pada dasarnya bagian
dari ekspresi iman yang selalu berfokus pada Tuhan dan tidak ada yang lebih
penting dari Tuhan.
Sr. Nur memaparkan pandangannya dengan
mengambil insipirasi dari Ensiklin Paus Fransiscus, ‘Laudato Si’, bahwa manusia yang berkepribadian otentik memiliki sifat
moral menghormati sesama manusia, peduli pada lingkungan sekitar dengan
penghayatan bahwa manusia adalah bagian integral dari alam serta berinteraksi
satu dengan yang lain, di mana yang unggul melindungi yang lain. Untuk
mengembangkan kepribadian non konsumtif, menurut Suster Nur, peserta didik perlu
diajak mengembangkan sikap cermat dalam memilah mana yang merupakan kebutuhan
dan mana keinginan. Kesadaran untuk memilah ini sangat dibutuhkan melihat kenyataan
bahwa pasar --melalui iklan-iklannya -- selalu mendorong masyarakat untuk
membeli dan di sisi lain manusia memang memiliki kebebasan untuk mengkonsumsi.
Sikap hidup konsumtif yang sudah
menjadi gaya hidup masyarakat ini, menurut Sr. Nur tidak lepas dari situasi dan
kondisi dunia saat ini yang mudah menimbulkan rasa tidak nyaman. Perkembangan
pola hidup dan kemajuan teknologi, selain memberikan kemudahan dalam berbagai
peerjaan, sisi lain membawa perasaan terasing. Semakin kosong hati manusia,
semakin merasa banyak kebutuhan, makin ingin banyak membeli, makin banyak
mengkonsumsi. Keinginan-keinginan yang terus
mendera terjadi karena terlalu fokus pada diri-ego. Maka gaya hidup yang konsumtif
pada dasarnya menunjukan sikap egois masal. Agar tidak fokus pada ego, atau tidak jatuh dalam sikap egois,
manusia perlu mendobrak kesadaran dan mulai berfokus pada yang lain, pada
lingkungan, pada hidup yang lebih luas, pada Tuhan. Keterbukaan ini bila dilakukan banyak pihak akan
menghadirkan pembaharuan gaya hidup.
Pembaharuan gaya hidup membawa keadaan yang lebih sehat bagi tubuh maupun kondisi psikologis manusia. Dengan ini memungkinkan manusia merealisasikan tanggung jawab sosial, terkait urusan ekonomi, maupun hal-hal lain sesuai prinsip moral. Selain perlunya keterbukaan, untuk mewujudkan pembaharuan perlu juga mengatasi gaya hidup individualis agar tantangan krisis lingkungan hidup sebagai tantangan serius bagi semua orang dapat ditanggapi bersama. Kepedulian pada masalah ekologi yang makin genting ini tidak cukup dengan kegiatan-kegiatan, melainkan membutuhkan suatu gerakan besar yang melibatkan lebih banyak kalangan.
(Foto Dok. Sr. Nurwaningsih)
Dalam
menanamkan kesadaran tentang kepedulian lingkungan hidup pada anak dan remaja,
Sr Nur mengajak mereka terbiasa dengan gaya hidup non konsumtif dengan memasak
makanan sehat sendiri, menumbuhkan kepekaan ekologis dengan kesadaran
pentingnya menanam setiap ada bangunan baru, mencegah penggunaan plastik, hemat
air dan kertas, memilih bersepeda ke sekolah dan bersikap murah hati sebagai
pembiasaan untuk tidak melekat apa yang dimiliki, serta membela kepentingan pelestarian
lingkungan hidup. Pengembangan sikap ini membutuhkan peran keluarga, yang oleh
Suster Nur disebut sebagai ‘sanggar budaya kehidupan’, yang mana sikap hormat
pada kehidupan ditumbuhkembangkan secara integral. Sr. Nur menegaskan bahwa
pemulihan ekologi hanya mungkin terjadi bila setiap pribadi mengembangkan
kebajikan yang kukuh melalui pembiasaan baik dalam kehidupan sehari-hari.
Upaya
mengembangkan kepribadian non konsumtif, tidak dapat dilepaskan dari
pengembangan wawasan tentang lingkungan hidup dan bagaimana makna keberadaan tumbuh-tumbuhan,
hewan hingga jasad renik atau keanekaragaman hayati yang saling mendukung satu
sama lain dalam kesatuan ekosistem.
Narasumber
kedua, Ibu Chandra Kirana atau biasa dipanggil Ibu Kiki, membuka pembahasan
dengan mengajak audien untuk memberikan perhatian pada kondisi keanekaragaman
hayati di Indonesia saat ini. Dengan heanekaragaman hayati yang dimiliki oleh
masyarakat Indonesia di berbagai pulau telah memberi banyak alternatif makanan,
beragam bahan obat-obatan, bahan sandang, sumber bahan barang seni, arsitektur dan
merangsang penghayatan dunia yang melahirkan beragam kisah yang menampung cara
pandang nilai-nilai tentang hidup. Ketika hutan yang menampung keanekaragaman
hayati berubah menjadi lahan monokultur, misalnya hutan hujan tropis yang
diubah menjadi hutan kebun sawit, maka jaring-jaring kehidupan banyak yang terputus
karena ada banyak jenis tanaman, hewan hingga jasad renik yang hilang, bersama
hilangnya beragam tanaman yang sangat bermanfaat untuk ketahanan hidup yang
berkualitas dan keberlanjutan nilai budaya.
Masyarakat tradisional yang memiliki pemahman
bahwa hidup saling terhubung antar
manusia dan alam semesta, oleh karena itu menjaga kelangsungan keanekaragaman
hayati diyakini menjadi bagian dari menjaga hidup diri sendiri. Mereka menjaga
tanah sebagai ibu bumi, dan menghormati semua yang hidup sehingga memiliki
bahan makanan yang amat beragam, di banding masyarakat yang terbiasa belanja di
super market. Keanekaragaman yang terpelihara ini menjadi penopang utama
ketahanan pangan, ketersediaan bahan papan dan sandang, maupun untuk kelestarian
ekspresi budaya sesuai pandangan hidup mereka.
Menurut Ibu Kiki, yang perlu dilakukan dalam dunia modern saat ini adalah menjaga keseimbangan antara gerak ekonomi pasar dengan ekonomi subsisten atau ekonomi mandiri oleh masyarakat atau komunitas, terutama agar tidak ada eksploitasi sumber daya alam yang merusak keseimbangan. Sebab bila keseimbangan ekosistem rusak, maka dampaknya pada manusia sendiri, sebagaimana terjadi saat ini.
(Foto dok. Yayasan Sekar Kawung)
Lebih lanjut Ibu Kiki mengelaborasi pembahasan
tentang hubungan antara kondisi keanekaragaman hayati dalam ekpsresi budaya
masyarakat, khususnya dalam kain tenun di Sumba Timur dan tenun gedog Tuban
Jawa Timur. Dalam suatu komunitas budaya, kain diproduksi tidak sekedar sebagai
bahan untuk sandang, tetapi merekam pengetahuan yang ditemukan dalam penghayatan
hidup, serta proses yang mempertautkkan sumber daya alam dan potensi manusia,
sehingga ia bermakna seni bahkan bermakna religius. Dari proses pembuatan
benang, pewarnaan hingga proses menenun, terkandung keunikan budaya suatu
daerah dari daerah lain dalam memanfaatkan tumbuhan atau hewan, yang tidak
lepas dari kondisi keanekaragaman hayati masing-masing daerah. Menurut Ibu
Kiki, di Sumba Timur tumbuh-tumbuh-tumbuhan sebagai sumber bahan pewarna alami
masih lestari, namun bahan benangnya kini sudah tidak lestari. Sementara di
Tuban, bahan benang tersedia namun tanaman pewarnanya kini sudah tidak lestari.
Di Sumba kemiri digunakan minyaknya untuk mengikat warna alami pada benang, di daerah
ini kemiri tidak digunakan untuk bumbu memasak. Sementara di suku Dayak
misalnya, kemiri bermakna untuk bumbu, untuk mengikat warna alami mereka menggunakan
minyak dari lemak hewan.
(Foto dok. Yayasan Sekar Kawung)
Perlunya keseimbangan ekonomi pasar
dan ekonomi mandiri oleh komunitas masyarakat tampak jelas dalam keberadaan kain
dengan bahan dan pewarna alami. Kain yang diproduksi di pabrik lebih beragam
jenis dan coraknya, diproduksi masal dengan mesin dan mengandung serat sintetis.
Dari segi harga lebih banyak pilihan dan terjangkau . Namun tidak mudah diurai
kembali ke alam dan bahan pewarna kimia yang digunakan mencermari air tanah
atau air laut. Berbeda dengan kain dengan
bahan dan pewarna alami yang tentu mudah diurai kembali ke alam dan tidak
mencemari lingkungan. Proses pembuatan kain alami membutuhkan waktu yang lama
sejak memintal benang, mewarnai dan menenun, yang secara umum menggunakan
tangan manusia. Bila tidak menggunakan persektif ekologi dan budaya, kain alami
ini tidak akan dinilai mahal. Bila perspektif ekologi dan budaya digunakan, harga
kain dengan bahan dan pewarna alami ini akan dinilai setimpal dengan proses
pembuatan, nilai seni yang dihasilkan dan dampak pelestarian lingkungan hidup yang
tidak ternilai dengan jumlah uang. Untuk mencapai keseimbangan ekonomi pasar
dan ekonomi mandiri ini membutuhkan perubahan cara pikir dan wawasan yang
holistik, disampaing spiritualitas yang menyadari kesalingterhubungan manusia dan
alam semesta.
Narasumber ketiga, Bapak Achmad Charris Zubeir berpendapat masalah
konsumtivisme adalah masalah yang sangat serius, tidak cukup hanya dibahas
dengan kata-kata, namun sebagaimana di nyatakan Suster Nur, membutuhkan sebuah
gerakan. Gerakan yang sudah dilakukan oleh Suster Nur dan Ibu Kiki menurut Pak
Charis adalah contoh-contoh konkret yang perlu diperbanyak dan dikembangkan. Namun
Beliau menegaskan, umat manusia saat ini tidak mungkin mundur kembali pada
kehidupan serba alami, karena peradaban manusia saat ini sudah telanjur berubah
dari cara hidup tradisional, menjadi kehidupan yang serba menggunakan teknologi
modern. Dalam situasi masyarakat serba konsumtif saat ini, agama mestinya dapat
mengambil peran mengembangkan sikap hidup tidak serakah, mendidik masyarakat untuk
mampu memilah antara kebutuhan dan keinginan. Menurut Pak Charris, bila agama
hanya berkutat pada urusan formalitas atau spiritualitas keagamaan saja, maka
agama apa pun itu, tidak membantu manusia bagi pemecahan masalah peradaban ini.
Pak Charris mengusulkan tiga gerakan bersama
yang perlu dilakukan; pertama, gerakan menjadikan kesadaran ekologis bagian
penting dalam proses pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan formal. Kedua,
gerakan yang mendorong kebijakan politik untuk konsisten mengutamakan keberlangsungan ekologi. Ketiga,
gerakan untuk mengundang partisipasi masyarakat, meski pun gerakan kecil-kecil
tapi perlu didorong untuk terus berkembang.
Dia akhir
perbincangan, Suster Nur memberi kata penutup dengan mengungkap kecintaan pada
semua, pada bumi rumah kita, berarti memeriksa kembali gaya hidup, mencegah
kemundururan martabat karena sikap, egois serta mengembangkan kepekaan ekologi
yang dimulai dari rumah dan diperkuat dalam ruang-ruang pendidikan sekolah. Perubahan
ini membutuhkan gerakan bersama yang dapat dimulai dengan upaya-upaya kecil
namun berkelanjutan oleh berbagai komunitas.
Pak Charris Zubeir menekankan kembali
pentingnya gerakan bersama untuk membangun peradaban masa depan, mengembangkan
potensi manusia dengan dasar kesadaran ekologis untuk masa depan bumi sebagai rumah
bersama. Dalam mengembangkan kepribadian yang tidak konsumtif, beliau mengingatkan
ajaran kearifan budaya Jawa, “Wong kang
bisa ngukur samubarangkalir nganggo ukuran utawa angka, iku wong kang pinter. Wong
kang ngerteni anggone njangkah, iku wong kang lantip. Wong kang angerteni
panjangkane urip lang sangkan paraning dumadi, iku wong kang waskitha”
(Orang yang dapat menghitung atau mengukur dengan angka-angka itu orang pandai.
Orang yang dapat memahami bagaimana membuat kebutusan strategis, adalah orang
cerdas. Dan orang yang dapat memahami bagaimana menjalani hidup dengan sadar
awal dan akhir kehidupan, dialah orang yang waskitha, atau senantiasa mawasdiri
dan bijaksana). Dalam hal ini, pendidikan tidak cukup bila hanya membuat
peserta didik pandai, namun perlu memiliki kepribadian dan sikap hidup yang
bijaksana dengan wawasan yang luas.
Sebagai
penutup perbincangan Ibu Kiki menyampaikan bahwa cinta sejati pada diri sendiri
yang sungguh-sungguh, akan membuka penglihatan pada hal-hal positif yang perlu
terus dirajut, karena kesadaran bahwa kehidupan diri manusia selalu terhubung
dengan lingkungan alam. Sikap hidup yang baik pada lingkungan, pada akhirnya
akan mendatangkan kebaikan untuk manusia sendiri.***
Komentar
Posting Komentar