Pengantar
Perkumpulan Pengembang Pendidikan Interreligius pada tahun 2023-2024 telah menyiapakan konsep buku 'Pendidikan Agama Berwawasan Pancasila yang diharapkan dapat menjadi sumber inspirasi bagi para guru pendidikan agama dengan melakukan pengayaan atas materi yang sudah ditentukan. Buku ini juga dapat digunakan guru mata pelajaran lain yang hendak memperkuat pendidikan karakter.
Sebagai sumber inspirasi, buku ini dimuka dengan tulisan-tulisan yang memperkuat pengetahuan dan wawasan yang diharapkan memotivasi dan memberi keyakinan tentang pentingnya pendidikan agama berwawasan Pancasila bagi generasi muda Indonesia.
Bagian ini adalah tulisan bagian 1. Selamat membaca.
Agama
bagi bangsa Indonesia menjadi realitas yang menyatu dalam budaya. Ekspresi
keagamaan dan ekspresi budaya saling berkelindan. Satu dimensi budaya bangsa
nusantara yang sangat
jelas dapat kita
cermati adalah kuatnya kepercayaan pada Tuhan Yang Adi Kodrati, Sang
Sumber Hidup. Kepercayaan ini mempengaruhi cara pandang tentang hidup pribadi,
dalam hubungan dengan sesama manusia dan semua mahluk di muka bumi. Pada semua praktik hidup inilah
nilai-nilai mengejawantah dan terus
menerus dikomunikasikan dalam
berbagai aktifitas.
Hidup berbangsa dalam masyarakat yang beragam membutuhkan kesadaran untuk mengelola kesepakatan bersama dalam setiap aktivitas hidup sehari-hari. Ketika
terbentuk negara modern, para pendiri
bangsa Indonesia berupaya menghadirkan kembali
kesadaran budaya bangsa nusantara, dengan menggali nilai-nilai yang telah hidup untuk menjadi dasar kesepakatan bersama. Dengan
dasar nilai yang sama, bangsa Indonesia memiliki kemudahan untuk saling
berkomunikasi, berbagi dan saling mendukung, beradaptasi dan hidup bersama dalam beragam ekspresi
budaya serta praktik
keagamaan yang berbeda, dengan atau tanpa formalitas.
Para pendiri bangsa menghadirkan nilai-nilai yang menjadi prinsip untuk
mengelola kehidupan bersama dalam rumusan-rumusan baru dalam kata yang diusulkan oleh Ir. Sukarno,
yaitu Pancasila sebagai pandangan hidup
bangsa Indonesia. Dalam
menghadapi berbagai tantangan kehidupan berbangsa dan bernegara, falsafah Pancasila
berfungsi sebagai kacamata untuk menganalisis dan mengevaluasi apakah jalan
hidup yang telah dilalui bangsa yang sangat majemuk ini masih terselenggara
pada arah yang sesuai dengan jati diri dan cita-cita bersama.
Pada agama-agama dan kepercayaan tersedia pandangan hidup dan sumber
norma bagi para pemeluknya dalam ruang-ruang sosial keagamaan masing-masing,
karena suatu agama tidak dapat menjadi aturan bagi umat agama lain. Maka dalam
ruang publik di mana kebangsaan merangkum keragaman budaya, agama dan
kepercayaan, Pancasila sebagai titik temu ini menjadi pandangan hidup bersama. Oleh
karena berakar pada kepercayaan pada Tuhan
yang
Maha
Esa,
tidak ada pertentangan antara agama dan Pancasila.
Sila Ketuhanan Yang
Maha Esa menjadi fondasi bagi empat sila
Pancasila yang lain. Pancasila menyediakan cara pandang tentang kehidupan bersama di ruang publik sehingga melahirkan
sosio-humanisme religius yang
unik. Keyakinan manusia
pada adanya Yang Maha Kuasa sebagaimana tertuang dalam sila pertama
Pancasila, menumbuhkan kesadaran bahwa seluruh kehidupan yang ada di dunia
bersumber pada Tuhan, oleh karena itu bukan berpusat manusia. Manusia dengan
anugerah kekuatan dan kesanggupan yang dimiliki dapat berkreasi apa pun untuk menjalani semua rencana, namun
tidak dapat mengingkari ketergantungannya pada
mahluk yang lain, yang karena itu
tidak dapat menganggap dirinya sebagai pusat kehidupan.
Kepercayaan pada
Tuhan melahirkan tujuan hidup yang menggariskan adanya prinsip pertama
dalam memahami martabat manusia, yaitu bahwa martabat manusia merupakan suatu
kehormatan yang melekat
pada diri manusia,
karena memiliki potensi dapat menentukan tujuan hidup dan pontensi
bertanggung jawab pada kehidupan. Dua potensi dasar
martabat kemanusiaan inilah yang membuat setiap manusia sangat
penting dan berharga
bagi sesamanya yang lain maupun kehidupan
luas, sebagaimana kehidupan semua makhluk lain atas manusia. Prinsip ini
selanjutnya terkait dengan
sila kedua Pancasila.
Pada sila kedua, gagasan tentang kemanusiaan yang adil
dan beradab menegaskan prinsip bahwa kehormatan atau martabat manusia setara di hadapan
Tuhan, apa pun atribut yang melekat padanya: suku, agama, kelas sosial dan golongan-golongan. Martabat manusia
terletak pada potensi kemanusiaan yang setara yang diaktualisasi untuk melibatkan diri
dalam seluruh proses kehidupan dengan kesadaran akan tanggung jawabnya. Oleh
karena itu dalam merumuskan tujuan pendidikan sesuai falsafah Pancasila
misalnya, yang menjadi tujuan hendaknya bukan pencapaian-pencapaian yang
bersifat atribusi, melainkan untuk menumbuhkembangkan potensi
kemanusiaan peserta didik
agar mampu mandiri dalam mengaktualisikan diri dan bertanggung jawab
bagi dirinya dan kehidupan yang lebih luas.
Sila ketiga, Persatuan
Indonesia mengandung
makna yang terkait dengan sila
Kemanusiaan yang adil dan beradab, yaitu paham tentang kemanusiaan yang juga
merupakan turunan lanjut dari penghayatan akan sila Tuhan yang Maha Esa.
Gagasan tentang persatuan biasanya dipahami dengan menyertakan batasan kategori geografis dan satuan
komunitas. Namun gagasan
persatuan dalam sila ketiga Pancasila ini menggariskan secara tegas substansi bahwa seluruh manusia
memiliki martabat yang setara meski berbeda-beda latar belakang. Dalam
pendekatan antropologi dapat dijelaskan mengapa bangsa Indonesia memiliki kosa
kata ‘sesama manusia’, ‘saudara-saudara’ atau ‘ki sanak’ ketika menyebutkan
orang lain, bahkan yang tidak dikenal. Kosa kata mengandung referensi makna dalam pengalaman hidup dan budaya manusia
berhubungan dengan pandangan hidup yang melatarbelakangi pemahaman tentang
kemanusiaan. Pandangan tentang
kemanusiaan yang saling terhubung ini menumbuhkan sikap yang menjaga persatuan
antarmanusia yang berbeda-beda. Wawasan dan kesadaran tentang persatuan sesama manusia
di wilayah nusantara menjadi dasar mewujudkan negara bangsa Indonesia saat ini .
Dalam sila
kemanusiaan dan sila tentang persatuan terdapat kearifan bahwa segala yang
dapat diraih dalam pertumbuhan peradaban manusia penting dan berharga. Demikian pula semua hambatan dan musibah
yang menimpa tidak dapat dianggap
sebagai semata-mata persoalan nasib
buruk yang harus diterima seseorang
maupun kelompok. Kehidupan manusia saling terhubung dan tergantung, karena itu
dalam nilai kesetaraan antarmanusia dalam praktiknya melahirkan solidaritas
yang memperkuat persatuan.
Dalam ide tentang persatuan, terdapat pemahaman penalaran bahwa
tindakan diskriminatif terhadap seseorang atau suatu kelompok adalah tindakan
yang melukai martabat seluruh umat manusia. Inilah pentingnya prinsip ketiga dalam memahami martabat manusia
yaitu, bahwa martabat
seorang manusia terkait
dengan martabat manusia lain. Pelecehan terhadap martabat seorang manusia, sama
halnya melecehkan martabat semua manusia, karena martabat manusia hanya dapat
dipahami dalam martabat seluruh manusia.
Makna kehadiran
seorang manusia tampak dalam komunikasi dengan
pihak lain. Komunikasi mengungkapkan keadaan diri, memberikan tanggapan pada sebuah pernyataan dan pendapat , manusia
sedang merayakan eksistensinya
di hadapan yang lain. Sangat jelas di sini bahwa adanya ruang dan kesempatan berkomunikasi menjadi bagian penting
dari penghormatan atas
kehadiran seseorang. Kesempatan untuk berkomunikasi dan berpendapat menjadi hal yang terkait langsung dengan makna diri seorang manusia. Martabat manusia tergambar
dalam komunikasi dan relasi dengan yang lain. Dalam kehidupan bersama,
komunikasi membuka peran dan kontribusi dalam kehidupan
bersama. Pemahaman kemanusiaan yang religius termuat dalam sila keempat Pancasila.
Sila keempat Pancasila yaitu Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaran Perwakilan, adalah pernyataan ideal tentang kehidupan bersama yang menolak adanya dominasi manusia atas manusia yang lain. Bermusyawarah menjadi bentuk aktualisasi dari nilai
kesetaraan manusia yang memberi peluang partisipasi bagi semua manusia untuk
terlibat dalam kehidupan bersama. Tanpa adanya komunikasi dan kebebasan
berpendapat manusia tidak dapat menemukan makna dirinya sendiri dan menumbuhkan
segala potensi yang dimiliki. Dalam hal ini ditegaskan prinsip
keempat untuk memahami
martabat manusia, bahwa martabat manusia terealisasi melalui komunikasi dan
adanya ruang dan kesempatan yang cukup
untuk mengekspresikan diri.
Dalam praktik
pendidikan, metode pembelajaran yang partisipatif
adalah pengalaman yang sekaligus menjadi proses penanaman nilai-nilai kesetaraan dalam bermusyawarah dan
berperan aktif dalam urusan bersama. Kesantunan yang tumbuh dan berkembang dalam relasi ini adalah
kesantunan yang berakar dari kesadaran pengalaman manusiawi sebagai makhluk multidimensi.
Sila kelima Pancasila
yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, menggambarkan cita-cita kehidupan bersama yang sangat
fundamental bagi pertumbuhan martabat kemanusiaan. Dalam sila kelima ini
terdapat prinsip, bahwa hanya dalam keadilan yang dapat dinikmati semua
manusia, akan hadir kedamaian yang merupakan
rumah bersama bagi martabat manusia.
Untuk mewujudkan keadilan prinsip
kesetaraan antarmanusia dalam keragamannya harus dipenuhi.
Kelima sila dalam
Pancasila merupakan kesatuan yang saling menjelaskan dan menjadi bagian dari komunikasi
sosial yang meneguhkan nilai-nilai yang diajarkan agama-agama. Nilai-nilai Pancasila yang berakar pada kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa, menjelaskan bahwa
Agama dan Pancasila berperan dalam ruang komunitas maupun publik, sehingga saling
melengkapi dan menguatkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang memiliki
keragaman budaya agama dan kepercayaan.
Komentar
Posting Komentar