Langsung ke konten utama

2. Bhinneka Tunggal Ika, Multikulturalisme Indonesia

 

Kalimat Bhinneka tunggalika tan hana darma mangrwa, termuat dalam kitab Sutasoma karya Empu Tantular yang  hidup di masa Kerajaan Kediri di Jawa Timur pada abad 14 Masehi. Kalimat ini mengungkapkan realitas masyarakat kala itu yang memiliki keragaman agama,  Hindu, Buddha dan  agama-agama  lain. Membaca konteks jaman itu, dapat kita bayangkan adanya cara pandang yang diwujudkan dalam praktik hidup: memberi penjelasan bahwa perbedaan adalah sesuatu yang dapat dipahami dan bukan sesuatu yang rancu, sehingga tidak perlu menjadi alasan memisahkan warga atau memecah belah kehidupan bersama. Mengapa tidak memisahkan, karena dalam keragaman terdapat subtstansi yang menyatukan, sebagaimana yang berkembang pada masa itu adaah  ajaran Weda tentang tat twamasi, bahwa semuanya yang mewujud pada  hakikatnya adalah Dia yang sama dalam wujud berbeda dan dalam ajaran Buddha bhinneka Tunggal ika menjadi perwujudan meta dan karuna, atau cinta dan welas asih.

Pada perkembangannya di masa kini, Bhinneka tunggal ika menjadi semboyan bangsa Indonesia yang tertuang dalam pasal 36A Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Semboyan ini menjadi landasan dalam memandang  perbedaan budaya, agama dan kepercayaan.  Semua  ekspresi  hidup yang berbeda-beda pada diri manusia tidaklah seutuhnya berbeda, melainkan dalam setiap perbedaan selalu ada sisi-sisi yang sama, termasuk dalam diri manusia. Sisi-sisi kesamaan tidak boleh dinafikan atau tidak boleh dijauhkan dari ingatan ketika menghadapi perbedaan, meski kesamaan-kesamaan itu berada di balik apa yang tampak berbeda di permukaan.

Pada perwujudan yang diwarnai perbedaan, hal-hal yang sama tetap  dapat  dikenali keberadaannya.  Pertama, kesamaan  bahwa setiap manusia sebagaimana mahluk yang lain, tidak dapat mengelak dari keteraturan semesta atau hukum alam yang melingkupinya. Kesadaran adanya kesamaan di antara manusia yang terikat dengan hukum alam ini dapat melahirkan kesadaran diri yang serba memiliki keterbatasan, serba relatif yang menumbuhkan perilaku tahu diri dan kesediaan untuk menghormati pihak lain. Menyadari keterbatasan dan ketidaksempurnaan dapat melahirkan sikap tenggangrasa (berempati) dan bertoleransi atau mau menahan kepentingan dan keinginan pribadi atau kepentingan kelompok untuk kepentingan yang lebih besar.

Kedua, penghayatan kemanusiaan yang sama, yang karena keyakinannya yang menjunjung nilai-nilai kehidupan dan martabat manusia yang setara, dapat membimbing pada pertemuan tentang sisi yang sama dalam kemanusiaan di hadapan perwujudan yang berbeda-beda. Kesamaan yang sangat fundamental ini menuntun manusia dapat menghargai martabat dirinya dalam martabat orang lain. Hal ini mempertegas bahwa martabat seorang manusia hanya dapat dipahami dalam martabat seluruh manusia.

Melalui penerimaan pada adanya perbedaan dan sisi-sisi kesamaannya dapat menyatukan seluruh umat manusia. Demikian halnya ketika menghadapi perbedaan agama, betapa pun terdapat suatu ajaran atau dogma yang tampak berlawanan, bila mengingat dua hal dasar yang menyamakannya dalam keseluruhan hidup manusia, perbedaan antar agama juga tidak akan menghalangi persaudaraan dan kerjasama antarkelompok dalam masyarakat.

Menyadari  adanya  persamaan  di  balik  berbagai  perwujudan yang  berbeda,  memudahkan  komunikasi  untuk  mempertemukan sudut  pandang  para  pihak  yang  berbeda. Saling memahami sudut pandang yang berbeda memudahkan para pihak untuk berempati dan memahami hal-hal yang bermakna bagi pihak lain. Atas dasar saling memahami ini, komunikasi yang terselenggara memungkinkan menjadi jalan kerjasama untuk memperkokoh rasa persatuan. Dalam berbagai aktivitas  komunikasi, semua potensi masalah yang dapat muncul karena  perbedaan dapat dikelola  dengan baik. Dengan demikian cita-cita keadilan dan perdamaian bagi semua warga dapat diupayakan bersama.

b.    Nilai-nilai Pancasila dalam Agama

Agama-agama memiliki tujuan membimbing manusia agar dapat mencapai taraf kehidupan yang damai dan selamat. Karena itu ajaran agama-agama bagi pemeluknya menjadi sumber kebijaksanaan, inspirasi berbuat baik dan penggerak  bagi upaya-upaya membangun hidup damai. Latar belakang budaya atau agama berbeda tidak akan memunculkan masalah, bila substansi nilai-nilai yang ajarkan  dalam masing-masing budaya, agama dan kepercayaan yang berbeda dipahami bersama.

Nilai-nilai agama yang menjadi dasar bagi sistem norma dan menghadirkan tradisi yang berbeda-beda diperuntukkan bagi penganut agama-masing-masing. Norma suatu agama tidak dapat medipaksakan  bagi umat agama lain. Dalam masayarakat yang beragama, nilai-nilai dan norma yang diperlakukan adalah nilai dan norma yang dapat diterima oleh semua orang dari berbagai latarbelakang. Inilaih[ Pancasila sebagai dasar negara dan falsafat  bangsa Indonesia.

     Tiga landasan konseptual di atas memberi argumentasi mengapa mempraktikkan Pendidikan Agama Berwawasan Pancasila penting sebagai partisipasi memperkuat kompetensi guru dalam mendampingi peserta didik menjadi warga negara yang baik dan bijaksana di tengahberbagai perubahan dan keragaman sebagai warga Indonesia maupun warga dunia.


 Oleh Listia

 [TC15]typo

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tantangan Baru Pendidikan Toleransi di Indonesia

  Pandemi telah mengubah cara kerja masyarakat seluruh dunia. Semua pihak harus dapat beradaptasi dengan situasi penuh resiko ini agar tetap sehat dan semua aktivitas kehidupan dapat dilanjutkan. Demikian halnya dalam berbagai aktivitas pendidikan, selain harus mencari strategi yang aman dan efektif, juga harus tetap kreatif sehingga proses belajar mengajar berlangsung tanpa beban dan berdampak mencerdaskan.     Adaptasi Perkumpulan Pappirus terus mengupayakan pengembangan pendidikan keagamaan yang menumbuhkan kultur belajar yang memungkinkan tumbuhnya kesadaran menerima keragaman sebagai kodrat manusiawi dan mengajak para pendidik agar dapat membantu peserta didik mengembangkan sikap toleran serta mampu bekerjasama dengan orang yang berbeda latar belakang. Adaptasi dalam mengelola perkumpulan antara lain dengan migrasi kegiatan secara daring atau gabungan daring dan luring, sebagaimana dilakukan dalam Rapat Umum Anggota Perkumpulan ke-3, 25 April 2021 dan pertemuan Pengurus Periode ba

PENTINGNYA PERUBAHAN PARADIGMA UNTUK MERAWAT RUH PENDIDIKAN

    Catatan Moderator Seri 01 Program ‘NGOPII Yoo’ atau ‘Ngobrol Pendidikan Interreligius-Indoneisa dari Yogyakarta’, adalah perbincangan untuk masyarakat umum secara daring, yang diselenggarakan atas kerjasama Perkumpulan Pappirus, Rumah Kearifan, Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Sanggar Anak Alam, setiap hari Rabu malam. Seri pertama Ngopii yoo pada Rabu, 11 Agustus 2021 mengangkat tema ‘Pendidikan yang Memerdekakan’. Banyak pemikiran berharga dalam perbincangan ini. Untuk itu moderator akan menyarikan gagasan-gagasan menarik di dalamnya untuk diunggah di laman pappirusindonesia.org                    Kehidupan bermasyarakat mengalami perubahan sangat cepat, dampak dari perkembangan teknoliogi digital pada berbagai proses kehidupanbaik dalam pengorganisasian, komunikasi maupun proses produksi barang dan jasa. Bukan hanya pada level permukaan, perubahan juga terjadi dalam penghayatan nilai-nilai. Menyambut ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke 76, sebagai bentuk ra

Ziarah Peradaban Nusantara

                      Menurut sebagian orang ‘sejarah ditulis oleh para pemenang’, yaitu menggunakan cara pandang mereka yang secara politik dapat menuliskan ingatan tentang apa yang penting dan menanggalkan apa yang tidak penting menurut penulis. Namun sejarah tidak sekedar apa yang ditulis. Ada banyak situs, yaitu keberadaannya dalam ruang hidup manusia dari masa ke masa menyajikan keterhubungan banyak informasi yang seringkali luput dari apa yang telah ditulis. Situs-situs juga dapat menjadi pintu masuk mengantar pada imajinasi dan pemahaman cara hidup manusia dalam mengelola masyarakat kala itu. Situs menjadi sumber pengetahuan dan inspirasi.                           (Arca Garuda Wisnukencana di Musium Trowulan Mojokerto)             Minat pada sejarah di kalangan masyarakat Indonesia masih sangat rendah, dalam pengertian sejarah tidak dianggap sebagai sumber belajar, yang tidak sekedar menjadi memori yang menguatkan posisi para pelaku sejarah, melainkan sebagai inspirasi dalam