Webinar Pappirus: Bagaimana Mengakhiri Ketidakjujuran Dalam Dunia Pendidikan Masa Kini?
Apakah mungkin “mengakhiri ketidakjujuran di lembaga-lembaga pendidikan?”. Dalam bincang-bincang Pendidikan yang diselenggarakan Perkumpulan Pappirus 12 November 2024 lalu, Pak Fathul Wahid, Rektor Universitas Islam Indonesia dan Romo CB Mulyatno, PR, membahas tiga aspek yang memungkinkan seseorang dan komunitas bersikap tidak jujur.
Pertama, adanya rasionalisasi atau cara berfikir yang menyediakan alasan bagi tindakan tidak jujur. Kedua, adanya kesempatan atau kondisi yang memungkinkan munculnya sikap tidak jujur. Ketiga, adanya tekanan yang membuat seseorang terpaksa bersikap tidak jujur. Seseorang yang memiliki otonomi dan memiliki kompas moral dalam memilih tindakan, akan senantiasa bertahan dengan gigih dan teguh pada nilai kebenaran dan bersikap jujur, tidak akan mencari-cari pembenaran atas sikap yang tidak jujur. Selalu ada kesadaran bahwa sikap tidak jujur adalah tindakan salah, berbahaya dan berdampak buruk bagi orang banyak, meski dilakukan oleh individu.
Bersikap jujur pada dasarnya bagian penting menghormati pihak lain dan menjaga kehidupan bersama agar tetap baik. Keteladanan orang tua, pimpinan atau tokoh juga sangat penting karena dapat memberi inspirasi dan peneguhan, ketika berisikap jujur menjadi sesuatu yang tidak mudah. Sebaliknya bila makin banyak pemimpin atau tokoh bersikap tidak jujur, masyarakat umum pun mudah apatis; merasa tidak ada gunanya bersikan gigih demi kebenaran, bila pada akhirnya yang dimenangkan adalah yang ketidakjujuran.
Romo Mulyatno berpandangan, agar menjadi pribadi yang otonom membutuhkan pendidikan --sejak dari rumah, lembaga pendidikan maupun masyarakat-- yang memperkuat kesadaran diri dengan proses yang menjadikan anak atau peserta didik sebagai dirinya sendiri. Aspirasi dan kompetensi yang dikembangkan sesuai bakat alam yang dimiliki, anak tidak dituntut untuk menjadi orang yang berbeda dari potensi yang ada dan apa yang bermakna bagi diri anak. Sehingga anak dan peserta didik senantiasa dipandang sebagai pribadi yang utuh dan unik. Dalam proses mendidik, mereka tidak diperlakukan secara seragam. Untuk itu ke depan menurut Romo Mul, sebagai salah satu anggota Badan Akreditasi Nasional, hal yang dipentingkan adalah soal kinerja, bukan lagi hal-hal yang bersifat administrasi, fokus pada bagaimana pelayanan pendidikan dilakukan.
Kedua, sikap tidak jujur dapat dicegah, bila kesempatan untuk itu ditutup, misalnya ada sanksi yang tegas dan jelas, yang tersosialisasikan dan diberlakukan dengan baik tanpa pandang bulu, ada wistleblower system (sistem pengaduan yang memungkinkan tidakan tidak jujur dalam lembaga dilaporkan, dengan perlindungan pada identitas pelapor’), lingkungan sosial yang berani mengkritik dan mengingatkan pelaku ketidakjujuran. Dengan kesempatan yang ditutup ini, pribadi yang belum matang dan tidak memiliki kompas moral pun terbantu untuk bersikap jujur dan menjunjung kebenaran.
Ketiga, dalam situasi masyarakat yang mengangap wajar hubungan-hubungan yang tidak setara, masyarakat yang mempertahankan mentalitas feodal, sikap tergantung pada orang lain --terutama yang memiliki kekuasaan-- bersikap ‘terpaksa tidak jujur’, mudah ditemukan. Kadang karena takut tidak diberi kesempatan untuk ‘sukses’, memilih jalan ABS ‘asal bapak/ ibu atasan senang’. Contoh yang mudah ditemukan di lembaga pendidikan misalnya mengubah data Kartu Keluarga agar dapat masuk sekolah favorit dengan jalur zonasi, mengkatrol nilai-nilai hasil ujian atau membuat laporan yang tidak apa adanya untuk menyenangkan atasan atau pihak lain, atau demi nama baik lembaga.
Di jenjang pendidikan tinggi ketidakjujuran dalam perjokian ujian, membuat tugas, pembuatan makalah, skripsi, tesis hingga disertasi demi mendapatkan gelar makin marak. Mengapa demi mengejar gelar orang rela menjatuhkan martabatnya sendiri, dengan membohongi diri sendiri, lembaga dan masyarakat? Ini mengindikasikan makin banyak masyarakat memandang gelar akademik tidak harus berhubungan dengan kompetensi keilmuan seseorang, melainkan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan prestise sosial. Menjadi tanda bahwa banyak lembaga pendidikan belum berhasil mentransformasikan mentalitas feodal dalam masyarakat sehingga lebih egaliter dan menghargai martabat manusia apa adanya secara setara.
Laporan Kompas tgl 11 Februari 2023, bahakan ada usaha perjokian yang berbadan hukum. Masyarakat umum pun mudah menemukan data-data ini menggambarkan makin maraknya praktik ketidakjujuran yang yang didorong oleh cara pikir pragmatis, semangat belajar dan bekerja yang lemah. Namun sulit diingkari fenomena ini menunjukkan adanya faktor ketidakseriusan para pendidiknya dalam mendampingi mahasiswa menjadi pribadi berintegritas. Kenyataannya bahkan tidak sedikit dosen pembimbing yang karena merasa pada posisi kuasa, nebeng karya mahasiswa bimbingannya untuk diterbitkan demi menambah poin, meski ia sadar bukan begitu cara berkarya yang sah dan sudah dibayar pula untuk jasa membimbing itu.
Ketika ketidakjujuran mulai dianggap sesuatu yang normal, makan banyak orang tidak peduli batas-batas benar salah. Rasa menghargai apa yang benar makin hilang, rasa malu berbuat kebohongan makin tumpul. Bila ini terjadi, upaya mendidik nilai-nilai baik dalam keluarga, lembaga pendidikan maupun masyarakat akan sangat sulit, karena ketidakselarasan antara apa yang diajarkan dan kenyataan yang terjadi. Nilai kebenaran makin dianggap tidak penting sehingga rasa saling percaya dalam relasi kehidupan lembaga maupun masyarakat akan mudah hilang, situasi yang mengundang konsflik.
Ketika ketidakjujuran makin dianggap normal, orang yang jujur bisa jadi mudah tersingkir atau diasingkan. Ketika tata nilai hancur, yang bakal terjadi adalah hukum rimba; siapa yang kuat dan berkuasa mereka yang akan menguasai cara berfikir dan bertindak umumnya orang. Menyitir kata-kata Gus Dur, perdamaian dalam kehidupan tinggal ilusi ketika kebenaran tidak ditegakkan untuk keadilan. Oleh karena itu para nara sumber menekankan pentingnya melantangkan kejujuran pada setiap tuang dan kesempa
tan.
tan.
Komentar
Posting Komentar